Reimajinasi Pesantren

GUSYAHYA.ID – Ketika pertama kali masuk FISIPOl UGM, saya sering ngobrol di ruangan kecil dekat toilet. Sehari-hari ngumpul cuma untuk plesetan, sehingga kita merasa waktu itu kita sedang mengobarkan revolusi plesetan di fisipol ugm. Sampai di festival plesetan tingkat universitas, tiga tahun berturut-turut dari fisipol ugm. Tapi saya tidak tahu plesetan masih berjalan atau tidak.
Padahal plesetan ini merupakan inspirasi kritik yang sangat penting waktu itu. Di tengah-tengah suasana sosial-politik-budaya di awal tahun 80-an dan awal 90-an itu, ketika udara di Indonesia ini dipenuhi oleh pidato-pidato Orde Baru. Lalu muncul plesetan di Jogja dan menjadi populer sekali di mana-mana. Nah apa sebetulnya signifikansi plesetan di tengah-tengah konteks suasana pada waktu itu. Plesetan itu adalah sindiran tentang kata yang tidak perlu dipikirkan maknanya. Kata dibiarkan menjadi kata dan digulirkan hanya sebagai kata. Pokoknya kata. Makanya pesantren lalu menjadi pesantren klopo (pesanten), klopo sekolah (kepala sekolah), dan seterusnya.
Bapak/Ibu yang berbahagia, pagi ini saya terpikir untuk mengangkat masalah ini dalam konteks pemaknaan kita terhadap pesantren yang mau kita simposiumkan.
Ketika kita bicara tentang pesantren, apa yang dimaksud dengan pesantren itu? Dulu, saya sekolah sosiologi sudah menjadi cita-cita sejak kecil. Karena saya hidup, lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren dan saya punya banyak sekali pertanyaan tentang nasib, masa depan pesantren. Sehingga saya butuh untuk belajar memahami masalah itu dan saya putuskan untuk belajar sosiologi di sini. Tapi belajar di sini sekian lama juga ngga ketemu jawaban-jawabannya, sampai saya tinggal minggat.
Baca Juga LAZISNU dan Konstruksi Baru Kemaslahatan
Saya membutuhkan beberapa dekade, untuk terus-menerus, bukan hanya bergulat dengan pesantren itu sendiri, bergulat dengan pesantren dan NU, untuk mendapatkan sejumlah kesimpulan yang, saya kira, ada gunanya untuk disampaikan kepada aktivis NU, pesantren, para penanggung jawab pemerintah terkait hal ini dan juga para akademia, para pemerhati di kalangan intelektual. Bahwa pesantren itu adalah lembaga yang sebetulnya telah mengalami metamorfosis-metamorfosis.
Tadi Pak Direktur (Basnang Said) dan Pak Kanwil menyebut tentang ciri-ciri/karakter pesantren yang indah-indah, yang menurut saya harus dicek lagi. Apakah memang karakter-karakter yang indah-indah itu masih ada dalam fenomena kepesantrenan yang umum, atau tinggal menjadi semacam mitos, ketika orang berpikir tentang pesantren?
Pesantren itu akarnya dari tradisi konstruksi peradaban yang kuno sekali, itu ketika tercapai sukses yang pertama dari inisiatif berskala peradaban di Nusantara ini oleh Sriwijaya, yang bertahan sampai 7 Abad.
Saya belum menemukan kajian yang cukup banyak, tapi konstruksi Sriwijaya itu diwarnai oleh tradisi atau struktur sosial-politik yang federatif di dalam masyarakat. Karena Sriwijaya ini hanya mengukuhkan grip politic di pelabuhan-pelabuhan untuk mengendalikan jalur perdagangan Maritim pada waktu itu.
Baca Juga Strategi Humanitarian Islam
Sementara struktur dan dinamika sosial politik di pedalaman pulau-pulau Nusantara ini dibiarkan bebas, asalkan kegiatan perdagangan tunduk pada kendali dari Sriwijaya. Maka tumbuh dalam pedalaman nusantara ini komunitas-komunitas independen.
Seperti di Jawa ini, sudah merupakan konstruksi atau pola yang kuno, lahirnya pemimpin-pemimpin komunitas yang mendapatkan legitimasi kepemimpinan di lingkungan masing-masing. Di Jawa ini dikenal sebutan Ki Ageng yang dikenal sebelum masa Islam, yang merupakan pemimpin komunitas pada masanya yang independen satu sama lain.
Di antara pemimpin komunitas ini ada yang menonjol dari segi komunitas, dan kapasitas mentalnya, yang pada masa itu dipercaya sebagai keunggulan karena kemampuan-kemampuan yang linuwih di dalam ilmu-ilmu spiritual, mistik, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh ini mendapatkan reputasi yang luas kemudian didatangi oleh murid-murid yang ingin belajar, sehingga tokoh-tokoh ini dikelilingi cantrik-cantrik untuk meningkatkan kapasitas pribadi, seperti Ki Ageng.
Murid-murid yang sukses kemudian kembali dan tumbuh menjadi Ki Ageng baru, dan meraih reputasinya masing-masing. Dalam waktu yang sangat lama tumbuh menjadi mekanisme budaya yang kurang lebih alami. Ki Ageng-Ki Ageng muncul, secara alami, yang polanya dalam waktu yang sangat lama tidak beraturan. Karena seorang Ki Ageng belum tentu punya anak yang mampu mewarisi kapasitas kepemimpinan seperti orang tuanya. Kita banyak mengenal tokoh-tokoh seperti Ki Ageng Selo, kita tidak pernah tahu, anaknya Ki Ageng Selo yang menggantikan kepemimpinan Ki Ageng Selo di dalam komunitasnya. Ki Ageng Giring, Ki Ageng Pemanahan, dan lain sebagainya.
Baca Juga Wali Songo dan Kerangka Kerja Intelektual
Memang, satu-dua, yang kemudian anaknya tumbuh menjadi tokoh seperti orang tuanya. Di antara Wali Songo misalnya ada; Raden Umar Said (Sunan Muria) putra dari Raden Said (Sunan Kalijaga), ada Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) putra dari Raden Rahmatullah (Sunan Ampel), tapi banyak yang tidak ada penerusnya. Sunan Kudus, tidak ada putra yang meneruskan.
Pada masa itu yang lebih ditekankan adalah kapasitas mental dan spiritual yang tidak terlalu memiliki perhatian kepada aspek-aspek akademis. Jadi kalau kita tanya tentang apa khazanah keilmuan yang tumbuh di dalam komunitas-komunitas di Nusantara pada masa sekitar Abad 10-14 yang kita temukan adalah tulisan-tulisan yang tidak terlalu banyak, yang lebih mengulas tentang kapasitas spiritual dan mungkin sedikit pengetahuan mistik, sementara banyak dari khazanah pengetahuan tentang hal itu justru diwariskan secara oral dari generasi-generasi sehingga jarang kita temukan sumber-sumber tertulis pada masa itu.
Jadi, yang kita dengar tentang kehebatan tokoh-tokoh pada masa itu, biasanya kehebatan-kehebatan bersifat supranatural yang muncul karena kapasitas spiritual yang besar, ada yang bisa pergi ke Mekkah naik batok, menangkap petir menjadi naga, dan lain sebagainya.
Akar Tradisionalisme
Ketika hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah semakin lancar, baru kemudian aspek-aspek akademis ini diserap dari sumber-sumbernya dari Timur Tengah untuk dibawa ke Nusantara. Kira-kira ditandai oleh generasi dari Kiai Nawawi Banten, walaupun Kiai Nawawi Banten akhirnya tidak kembali ke Nusantara, tetapi teman-teman generasinya, banyak yang kembali ke Nusantara dan mengembangkan wacana dan pengajaran tentang pengetahuan-pengetahuan agama yang bersifat lebih akademis, mulai dari fiqih, syariat, nahwu-shorof dan lain sebagainya. Fakta ini kemudian berkembang menjadi salah satu ciri pesantren.
Pesantren, yang pada mulanya, menjadi bagian dari konstruksi sosial masyarakat komunal di Nusantara yang kemudian menyerap para pendakwah Islam ke dalam kepemimpinan di tengah komunitas-komunitas itu, lalu tumbuh menjadi lingkaran-lingkaran studi akademik tentang agama, tetapi tetap dengan ciri-ciri spiritual yang sangat kuat.
Maka selain riwayat-riwayat tentang keunggulan kapasitas keilmuan dari para kiai pada masa-masa Abad ke 19 dan awal Abad 20 itu, pengetahuan tentang khazanah fiqih, khazanah ilmu-ilmu alat yang sangat luas, juga kemampuan-kemampuan spiritualnya, banyak juga kita dengar riwayat legendaris, tentang kiai-kiai dengan kesaktian-kesaktian luar biasa yang sebetulnya masih turun-temurun, saya sendiri masih melihat, sampai sekurang-kurangnya di generasi ayah saya.
Tetapi, satu hal yang perlu kita tandai di masa ini adalah pada masa itu tidak ada aspirasi untuk memapankan lembaga, jadi pesantren pada masa itu timbul, tenggelam, tumbuh, runtuh, hilang secara tidak beraturan diserahkan pada kemampuan masing-masing. Kadang-kadang tumbuh di satu tempat, tapi kemudian potensinya dipindah ke tempat lain dan di tempat yang lama hilang.
Baca Juga Koherensi dan Kesiapsiagaan
Sebagai ilustrasi, misalnya, KH Hasyim Asy’ari yang mendirikan Pesantren di Tebuireng itu sebetulnya merupakan putra dari kiai yang berada di tempat Jombang lain di Keras, Kiai Asy’ari itu dari Keras, Kiai Asy’ari putra dari Kiai Abdul Wahid di Salatiga. Jadi tidak ada aspirasi untuk melanggengkan lembaga, tidak ada kiai seperti Kiai Zuaem yang ingin melestarikan tinggalan bapaknya, tidak ada. Atau kiai yang ingin anaknya nanti jadi penerus, tidak ada, dulu itu begitu. Dan ini menjadi nilai yang dianggap fundamental karena ini merupakan semacam penanda keikhlasan dari kiainya, bahwa dia mengajar, mengasuh santri dengan ikhlas, semuanya pengen ridho saja. Mau pesantrennya terus atau tidak, itu alallah.
Di Kajen itu ada Kiai Abdullah bin Abdussalam, beliau itu sampai tidak mau membangun pesantren, tidak mau membuatkan kamar untuk santri. Ketika ada orang datang membawa anaknya yang ingin dititipkan, “Ya kalau mau ngaji sini saya ajar, tapi aku ngga mau bikin pondok. Kalau mau mukim di sini ya silakan cari tempat sendiri.”
Sehingga orang-orang ini iuran untuk beli tanah sendiri di dekat rumahnya Mbah Dullah Salam lalu dibangunkan kamar sendiri untuk anak-anak mereka. Sehingga yang disebut pondok sekarang ini sebetulnya milik hasil iuran dari wali santri.
Mbah Dullah Salam itu tidak pernah mau ngurus pesantrennya itu. Beliau cuma tinggal di rumah, dekatnya ada surau yang buat mengajar. Suatu ketika, putra beliau Kiai Nafi’, mungkin karena prihatin melihat keadaan, berkali-kali sudah mengusulkan untuk buat asrama dan tidak pernah diterima, akhirnya “ngelimpeh”.
Baca Juga Konsolidasi Organisasi, Pandu Membangun Ekosistem yang Padu
Mbah Dullah Salam pergi haji, Kiai Nafi’ membangun asrama dan memperbaiki surau dalam waktu 2-3 bulan selesai. Ketika Mbah Dullah pulang haji, pekerjaan ini sudah selesai semua. Sehingga Mbah Dullah kaget. Kata Kiai Nafi’, “Ini saya perbaiki Bah, biar anak-anak nyaman”.
“Lah, Langgarku mana?”, kata Mbah Dullah
“Ini sudah diperbaiki, Bah. Jadi begini,” jawab Kiai Nafi’
Kata Mbah Dullah Salam, “Ya kamu yang bikin, silakan kamu pakai sendiri sana!”
Sejak itu, Mbah Dullah enggan mengajar di langgar, beliau akhirnya mengajar di rumahnya sendiri. Jadi ini seperti tekad keikhlasan yang diwujudkan dalam penolakan untuk berpikir tentang kelangsungan (sustainability).
Kakek saya itu, dulu punya meja di langgar tempat mengajar ngaji, di situ semua kitab ditaruh, ada mungkin 20-25 kitab yang diajarkan sehari. Kemudian di tengah-tengah mengajar, beliau mengatakan,”Ini kitab banyak begini ini, kalau anak-anakku bisa mengajar yang dipakai ngajar, kalau tidak ya dijual”. Tidak pernah diurus. Ayah dan paman saya itu tidak pernah diurus, disuruh ngaji itu nda pernah, disuruh belajar tidak pernah, dibiarkan saja. Tapi kok bisa ngaji? Ya Wallahu A’lam.
Baca Juga Mandat Tebuireng
Jadi dulu tidak ada aspirasi tentang sustainability. Bahkan dianggap tabu. Menyiapkan anak untuk meneruskan itu dianggap menodai keikhlasan dalam berkhidmah oleh para kiai masa itu.
Banyak pesantren dari kiai besar yang kemudian hilang. Kiai Dahlan pendiri PP Lirboyo itu memiliki putra Kiai Marzuqi dan Kiai Ihsan, yang tinggal di Lirboyo ini Kiai Marzuqi, tapi Kiai Ihsan yang melahirkan karya luar biasa besar dan sangat terkenal, Kiai Ihsan bin Dahlan dari Jampes yang menulis kitab Sirajut Thalibin syarah terhadap Minhajul Abidin yang terkenal dan menjadi salah satu referensi utama di Perguruan Tinggi Timur Tengah.
Tapi Kiai Ihsan ini tidak ada yang meneruskan, ya tidak ada sekarang pesantrennya. Dekat dari situ ada Kiai Ma’ruf Kedunglo, tapi tidak ada yang meneruskan. Dulu itu tidak ada aspirasi tentang sustainability. Nah kalau dari situ lompat ke sini, ya pusing nanti Anda. ngga mau sustainable kok mau jadi pilar.
Aspirasi Kelembagaan
Nah, aspirasi tentang sustainability ini perlu pembedahan lebih dalam. Saya menduga, aspirasi tentang sustainability itu muncul gara-gara didirikannya jam’iyah Nahdlatul Ulama karena persis dengan jam’iyyah itulah gagasan tentang sustainability itu diperkenalkan. Bahwa para ulama itu semestinya memiliki visi jangka panjang, cita-cita yang jauh ke depan, untuk itu diperlukan satu model dan kendaraan perjuangan yang sustainable. Maka didirikanlah organisasi yang namanya jam’iyyah Nahdlatul Ulama, sehingga kiai-kiai ini mulai mengenal gagasan tentang kelangsungan.
Mengapa demikian? Karena tiba-tiba ketika kiai-kiai ini menjadi pemimpin NU di daerahnya, dia harus berpikir, “Kalau aku mati siapa yang ngurus NU ini?”. Sebelum itu kan tidak dipikir, “Kalau aku mati nanti santriku yang di sana yang mengajar”. Sekarang, di tempat dia sendiri itu ada kepentingan, untuk meneruskan ketersediaan kepemimpinan paling tidak bagi jam’iyah Nahdlatul Ulama. Dari situ mulai muncul para kiai yang serius menyuruh anaknya mengaji. Sesudah kemerdekaan pastinya.
Lalu ketika zaman sudah berkembang, muncul kepentingan untuk memberikan nilai lebih bagi generasi-generasi penerusnya. Tahun 60-an itu, kakek saya menyuruh anak-anaknya untuk Sekolah Umum. Jadi Ayah saya setelah dari Madrasah Krapyak disuruh mendaftar di IAIN Jogja, walaupun cuma satu tahun kuliah. Kalau saya di sini tidak lulus itu sebetulnya ya wajar saja, wa man yusyabih abahu fama dholam.
Kenapa tidak sampai lulus? Kepentingannya sederhana, supaya bisa Bahasa Indonesia. Karena kakek saya sudah berpikir, “wah yang laku ini Bahasa Indonesia”. Sehingga harus bisa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia.
Baca Juga Jalan Keluar Bagi Palestina
Nah, yang lain berkembang lebih canggih. Misalnya, Kiai As’ad Umar lalu perlu mengarahkan anaknya belajar ilmu pemerintahan di Fisipol UGM, anaknya yang lain disuruh belajar kedokteran, untuk melengkapi kapasitas kelembagaan dari pesantren yang diwariskan itu sendiri. Ini semua memang melahirkan bersama-sama dengan berkembangnya NU sebagai organisasi, di tengah-tengah masyarakat, kemudian menumbuhkan semacam imajinasi tentang pentingnya pesantren.
Nah banyak kualitas-kualitas yang menjadi penanda nature pesantren dari masa lalu, dianggap masih ada sampai sekarang. Termasuk kapasitas di dalam mengarahkan komunitas yang menjadi basis lingkungannya. Walaupun sebetulnya, secara kualitatif, intensitas dari peran komunitas itu tidak lagi sama seperti di masa lalu, telah mengalami banyak kemerosotan karena berbagai hal termasuk struktur sosial-politik masyarakat pada umumnya. Ketika kita mengenal negara modern, birokrasi dan lain sebagainya, maka kontrol terhadap masyarakat itu diambil alih oleh eksponen-eksponen pusat kekuasaan, yaitu birokrasi.
Pada zaman Ngayogyakarta Hadiningrat tidak ada birokrasi yang punya grip politic terhadap komunitas-komunitas, grip-nya ya di Kraton aja. Makanya ada “Benteng-Njeron Benteng”. Sementara komunitas-komunitas di luar Benteng dibiarkan independen. Tidak ada misalnya pajak rutin, yang ada cuma sewaktu-waktu kalau panen memberikan upeti, hadiah kepada Sultan. Bahkan ada tradisi menghadiahkan tanah perdikan (tanah merdeka) kepada orang-orang yang dianggap berjasa.
Saya punya teman keturunan dari para Kiai Nanggulan, Sentolo, Kulonprogo dan Nanggulan itu menurut riwayat adalah tanah perdikan yang memang dihadiahkan oleh Sultan sebagai wilayah merdeka, tidak punya kewajiban apa terhadap Sultan. Selama dia tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyaingi Sultan, dibiarkan bebas. Kalau mulai ada tanda-tanda menyaingi, baru disikat. Dan tanda-tanda menyaingi itu tidak perlu konsolidasi militer, mengumpulkan jimat yang banyak saja itu sudah dianggap tanda-tanda menyaingi.
Baca Juga NU Harus Berada Di Atas Negara
Seperti Ki Ageng Mangir, kenapa disikat Pangeran Senopati? Karena dia tiba-tiba memegang Tunggul Wulung, yang punya potensi subversif, lalu kemudian dibunuh. Kalau tidak ada tanda-tanda seperti itu, dibiarkan merdeka.
Nah ketika ada tanda-tanda birokrasi, semuanya diurus birokrasi. Lalu birokrasi juga menyediakan berbagai macam fasilitas layanan masyarakat yang menjadikan fungsi kiai tidak lagi terlalu mendesak. Orang minta suwuk kepada kiai tahun 70-an itu sudah jarang, semuanya mencari dokter/puskesmas, kalau tidak ada baru kiai, minta suwuk.
Sebelum itu semuanya kiai. Tidak butuh dokter kayak Gus Ufik ini. Makanya Gus Ufik awal-awal menjadi dokter, karena Pondok Rejoso itu kan terkenalnya Pondok Suwuk, tiba-tiba ada gus-nya praktik dokter, bingung orang-orang. Dikasih resep, ini diminum sehari tiga kali. Seminggu lagi orang tersebut balik lagi, kenapa?
“Kok ngga sembuh-sembuh, Gus.”
“Sudah diminum atau belum?”
“Sudah, Gus. Malah sudah hancur,”
“Hancur gimana?”
Terus ditunjukkan, resepnya dimasukkan air, airnya diminum tiga kali, dikiranya suwuk.
Rekognisi Supra-Struktur
Singkat kata, kita harus melihat bagaimana nature dari perubahan-perubahan itu terjadi. Pertama-tama perubahan yang terjadi di tingkat struktur masyarakat secara luas. Karena kita tidak mungkin hanya berpikir tentang satu ruang terbatas saja, tanpa mempertimbangkan dengan konteks secara keseluruhan.
Pada tahun 70-an sampai 90-an sangat populer inisiatif-inisiatif LSM untuk membangun komunitas. Saya tahu betul Mas Zuaem, termasuk saya sendiri terlibat. Saya ingat cerita di Krapyak dari generasi sebelumnya, bahwa pada zaman Menteri Agama Mukti Ali ada gagasan untuk membangun kapasitas ekonomi pesantren. Caranya gimana? Menteri Agama Mukti Ali pada waktu itu membagi-bagikan ayam untuk diternakkan di pesantren, dan Krapyak mendapat bagian. Tidak tahu berapa puluh ayam dikasih di pesantren. Alhamdulillah, habis ayamnya,disembelih semua sama santri-santri.
Nah banyak inisiatif-inisiatif LSM ini untuk pengembangan komunitas dan bisa dilihat sampai sekarang. Studi-studi saya dulu banyak kajian tentang hal tersebut. Tapi kesimpulan saya, tidak satupun inisiatif pengembangan komunitas itu mencapai hasil, semuanya gagal. Kenapa? Karena inisiatif itu hanya melihat pada lingkungan komunitas yang terbatas saja, tanpa mengkalkulasi hubungannya dengan struktur masyarakat yang lebih luas.
Jadi misalnya, setelah melihat potensi lokal, kemudian mengajarkan masyarakat untuk memproduksi komoditas dari potensi lokalnya, tapi tidak dihitung bagaimana urusannya dengan pasar, bagaimana urusannya dengan struktur ekonomi yang lebih luas dari masyarakat negara ini. Sehingga masyarakat yang kemudian diajari untuk membuat berbagai macam produk, produk seni, makanan dan lain sebagainya, lama-lama berhenti. Kenapa? Karena tidak ketemu pasar. Ketika ketemu pasar, pasar dikuasai oleh aktor-aktor besar yang tidak menyediakan ruang untuk pemain-pemain ekonomi kecil. Sehingga ruang untuk inisiatif itu gagal.
Baca Juga Tetaplah dalam Disiplin Barisan
Nah, saya kira ini hal-hal yang sangat penting untuk diingat ketika kita berpikir tentang pesantren. Apalagi setelah ada rekognisi dari supra-struktur politik terhadap keberadaan pesantren dengan adanya Undang-undang Pesantren.
Salah satu yang kemudian muncul sebagai respon terhadap rekognisi ini adalah semangat orang untuk menangkap peluang yang disediakan oleh rekognisi negara itu. Karena ketika negara mengakui keberadaan pesantren, negara kemudian menyediakan macam-macam fasilitas, sumber daya, untuk diberikan kepada pesantren.
Nah ini, kemudian antara lain, memicu minat banyak kalangan untuk menangkap peluang itu, “Wah ini ada sumber daya negara, ayo kita bikin pondok, supaya bisa mengambil sumber daya negara.” Padahal tadinya, orang-orang yang berjuang untuk mendapatkan rekognisi negara ini adalah gus-gus yang sudah kepepet semua ini yang sudah pusing memikirkan pesantren yang sudah kehabisan sumber daya. Seperti Gus Izzudin itu ngenes dulunya, karena lembaga sudah berkembang begitu besar, tidak ada sumber yang jelas untuk memeliharanya. Kemudian mereka berjuang untuk adanya rekognisi dari negara sehingga menyediakan sumber daya. Berhasil. Ketika berhasil, kalah pintar sama yang lain-lain, kemudian yang baru yang dapat, yang lama tetap tidak dapat. Karena ini membutuhkan skill tersendiri untuk mengakses sumber daya yang disiapkan negara.
Saya tadi sama Pak Direktur (Basnang Said), saya bilang bahwa Pagu untuk lembaga pesantren itu sendiri masih sangat kecil, sebagian besar dikhususkan untuk perguruan tinggi, 400-an miliar. Pagu untuk pesantren hanya beberapa puluh miliar. Sementara yang lain diarahkan untuk perguruan tinggi, sebagian diarahkan untuk santri yang ingin masuk ke perguruan tinggi. Sehingga santri yang agak goblok-goblok ini tidak ada yang mengurus lagi.
Nah, sementara kemudian banyak pesantren tumbuh, bahwa sejak adanya Undang-undang itu, pesantren yang menurut direktori Kemenag cuma 30.000, sekarang bertambah menjadi 41.000 lebih. Jadi saya membayangkan ada lebih 10.000 oportunis yang ingin mengambil sumber daya negara itu, curiga saya.
Baca Juga Reformasi Madrasah #2: Mungkinkah Madrasah Menerima Murid dari Semua Agama?
Maka, saya berharap dalam Simposium Pesantren ini, berbagai macam faktor yang relevan terkait pesantren ini dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Jangan sampai kita berdiskusi hanya berdasarkan mitos-mitos. Gus-gus yang sakti itu sudah tidak ada. Gus-gus yang punya kemampuan mengayomi masyarakat, tidak ada sekarang itu. Yang ada gus-gus yang betul-betul menjadi pengayom dari komunitas itu tidak ada. Sebagian besar sibuk dengan urusan lembaga pesantren itu sendiri yang memang tidak mudah dikelola.
Jadi, kita harus lihat realitanya seperti apa, supaya tidak hanya jadi bunyi-bunyian. Kalau dibilang pesantren jadi pilar masa depan itu pilar bagian mana? Soalnya rumah itu kan pilarnya macam-macam, ada pilar bagian pendopo, ada pilar bagian kakus. Jadi pilar ini harus jelas, berdasarkan realitas. Jangan cuma didasarkan pada stereotipe-stereotipe, mitos-mitos, tetapi harus sungguh-sungguh didasarkan pada realitas faktual yang berkembang.
Sekarang ini, misalnya, kita ini berpikir tentang lembaga pesantrennya atau masyarakat di lingkungan pesantren. Kalau masyarakat di lingkungan pesantren itu masyarakat yang mana yang relevan dengan pesantren itu masyarakat yang mana? Banyak pesantren-pesantren itu yang temboknya tinggi sekali dan masyarakat sudah tidak relevan lagi buat pesantren, sebagaimana pesantren tidak relevan buat masyarakat.
Ala kulli hal, saya kira, ini masyaallah bahwa di Fisipol UGM diadakan Simposium seperti ini saja sudah revolusioner. Tapi saya ingin bilang bahwa kenyataan memang studi sosial-politik itu sangat relevan untuk memahami dinamika pesantren. Sehingga sebetulnya kalau para akademisi di Fisipol ini mau mengulik masalah-masalah terkait pesantren, bisa jadi banyak artikel-artikel untuk jurnal-jurnal bisa lebih cepat jadi profesor daripada Pak Najib Azca, karena ada banyak sekali bahan yang bisa dikaji tentang hal ini. Mudah-mudahan ini akan terus berkembang dan menjadi dinamika yang lebih baik, membawa banyak kemaslahatan bukan hanya untuk pesantren-pesantren, bukan hanya untuk NU, tapi untuk Indonesia, Bangsa dan Negara.
Sebelumnya, mungkin saya harus membuat pantun juga.
Sor mejo ono ulone
Jo gelo, wis ngono carane
Sego pecel dikeceri jeruk
Kecut
*Disampaikan KH Yahya Cholil Staquf dalam Simposium Pesantren: Strategi Penguatan Pesantren sebagai Pilar Masa Depan Indonesia di Fisipol UGM, Selasa (8/10/2024).