LAZISNU dan Konstruksi Baru Kemaslahatan
Saya kira tampak jelas sekali ya bahwa engagement LAZISNU ini berkembang baik sekali secara internasional, alhamdulillah.
GUSYAHYA.ID – Apapun penelitian yang dilakukan oleh orang, apapun tesis-tesis yang dibuat oleh orang walau aftal muftun. Saya tetap berhusnudzon bahwa beliau Habib Ali ini adalah min-dzurriyati Rasulillah Saw. Dan itu memang salah satu alasan saya meminta beliau menjadi Ketua LAZISNU ini, yaitu memang untuk menghemat overhead supaya tidak perlu ada budget dari LAZISNU ini untuk ketuanya, karena Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib ini haram untuk menerima sodaqoh.
Kyai Abdullah bin Abdul Salam, beliau ini paman dari Kyai Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfuz, putra dari Kyai Abdullah Salam (Kajen). Suatu ketika ada orang sowan kepada beliau, membawa setumpuk uang. Sowan kepada Kyai Abdus Salam kemudian beliau menyampaikan,
“Nyuwun sewu kyai, ini sedekah saya kepada panjenengan” dengan menyerahkan setumpuk uang yang tidak sedikit.
“Jadi kamu menganggap saya ini fakir ya” kata Kyai Abdus Salam.
“Tidak begitu kyai, ini saya memang mau bersedekah” kata orang kaya tersebut.
“Apa di kampungmu sudah tidak ada orang fakir?” tanya Kyai Abdus Salam.
Kemudian orang tersebut menjawab “Ada, sudah semua kyai. Ini khusus saya sisihkan untuk panjenengan” jawab orang tersebut.
Orang ini sudah ketakutan karena menyadari bahwa dia salah bicara. Tapi lalu Kyai Abdus Salam mengatakan “Ya sudah pokoknya ini untuk saya ya. Tasarufnya terserah saya ya.”
Lalu ada santri-santri yang sedang berlarian di halaman pondok itu dipanggil oleh Kyai Abdus Salam kemudian segepok uang tadi diberikan kepada para santri tersebut.
“Uang sampean sudah membuat senang sekian banyak santri.”
Baca Juga Strategi Humanitarian Islam
Cerita itu adalah cara Kyai Abdullah Salam menolak pemberian, kenapa? Karena beliau sendiri berhusnudzon bahwa beliau adalah dari Bani Hasyim atau Bani Abdul Muthalib sehingga beliau tidak mau melanggar larangan menerima sedekah atau zakat.
Dalam praktik husnudzon ini penting untuk yang bersangkutan supaya tidak melanggar larangan. Karena ada seorang kyai yang lain cerita ke saya bahwa ada orang datang ke saya dan dia bilang katanya saya ini termasuk dzurriyah Kanjeng Nabi dari silsilah yang ketiga puluh sembilan atau berapa.
Saya menyampaikan bahwa saya tidak percaya dan tidak mungkin. Kemudian saya tanya kan lumayan kalau panjenengan diakui dzurriyah Kanjeng Nabi. Ya rugi saya. Rugi gimana? Lha kalau saya memang benar seperti itu ya rugi saya karena tidak bisa menerima sedekah.
Sementara dalam muamalah sebetulnya yang relevan secara fiqih ini paling-paling kepastian nasab itu maksimal sampai kakek atau kakek buyut, selebihnya sebetulnya secara aplikasi fiqihnya sudah tidak relevan. Relevannya itu untuk apa? Untuk memastikan wali nikah supaya kalau ada yang nikah itu walinya jelas, nasabnya jelas. Kalau di atas mbah buyut itu, masak canggah jadi walinya itu ndak mungkin.
Jadi alasan saya yang lain meminta Habib Ali menjadi Ketua LAZISNU ini karena saya sudah tahu bahwa Habib Ali ini berfungsi sebagai diplomat swasta. Jadi, tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang menggaji. Dia praktik diplomat sendirian dan bertahun-tahun seperti itu.
Saya sendiri telah berpikir bahwa mengenai zakat, infaq, shodaqoh ini kita perlu memperluas arena. Lebih-lebih dalam konteks lokalisasi ini sehingga kita butuh menjangkau arena engagement, arena hubungan kerjasama persinggungan yang lebih luas termasuk di arena internasional. Karena itu yang saya harapkan menjadi peran yang bisa dilakukan dengan baik oleh Dr Ali Hasan Al-Bahar ini karena reputasinya.
Baca Juga Wali Songo dan Kerangka Kerja Intelektual
Engagement Internasional
Alhamdulillah kita bisa melihat bahwa di bawah kepemimpinan beliau, saya kira tampak jelas sekali ya bahwa engagement LAZISNU ini berkembang baik sekali secara internasional, alhamdulillah.
Tetapi, lebih dari soal mengambil zakatnya, lebih dari soal mengumpulkan zakat, infaq, dan shodaqohnya, sebetulnya yang lebih penting dari amal zakat ini adalah tauzi’ dan tasarufnya. Apalagi sekarang ketika ada konstruksi baru tentang amil zakat. Kalau dulu kan amil zakat itu ya imam dan seluruh rakyat wajib taat kepada struktur yang ditetapkan oleh imam dalam soal zakat.
Makanya kemudian ada bagian yang diperbolehkan untuk diambil untuk kepentingan amil yang ditunjuk oleh pemerintah. Dulu seperti itu. Tetapi kita tahu bahwa kemudian sekarang konstruksi sosial politik, konstruksi kenegaraan telah berubah sedemikian rupa sehingga hal-hal yang menyangkut keagamaan termasuk masalah zakat ini juga mengalami penyesuaian-penyesuaian.
Di Mesir saja mungkin tidak ada lagi satu badan amil zakat tunggal yang monolitik yang ditetapkan oleh pemerintah. Maka ini sebetulnya harus kita pahami dan harus kita hayati lebih dalam. Dulu itu amil tanggung jawabnya tidak terlalu banyak karena tanggung jawab utama ada pada imam.
Memang, semua rakyat diwajibkan untuk menyerahkan zakat. Mereka yang memang sudah punya harta sesuai nisab memang wajib menyerahkan kepada amil yang ditunjuk oleh pemerintah. Kalau tidak mau maka akan diperangi. Kalau tidak mau dianggap bughat. Seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar Ra. kepada thoriquz zakah.
Sehingga amil ini sekadar menjalankan tugas dari imam. Tetapi sekarang ini, amil itu nyari-nyari kerjaan sendiri. Kalau NU ini tidak membentuk LAZISNU, tidak ada tanggungan karena tidak wajib. Siapa yang mewajibkan NU membentuk LAZIS? Tidak ada. Kalau kita tidak membentuk LAZIS itu tidak dosa. Karena sebetulnya tidak wajib. Jadi kalau kita membentuk LAZISNU itu kita nyari-nyari kerjaan sendiri.
Baca Juga Koherensi dan Kesiapsiagaan
Mencari-cari kerjaan sendiri itu berarti juga mencari-cari tanggung jawab sendiri. Dan berarti tanggung jawabnya harus kita pikul sendiri. Tidak bisa kita buang badan kepada pihak lain. Ini sebetulnya dalam perspektif ini masalah bahaya LAZISNU ini. Bahaya menghadapi hisab Allah Swt. Tidak wajib kok minta-minta tanggung jawab sampean itu.
Maka, kita harus lebih berhati-hati. Itu sebabnya saya katakan ya nyari tanggung jawab ya nyari tanggung jawab tetapi ya jangan ngoyo-ngoyo. Ngoyo itu artinya kalau kita berkampanye supaya bisa mengumpulkan zakat dan infaq sebanyak-banyaknya itu mencari tambahan tanggung jawab secara ngoyo.
Ya boleh-boleh saja itu ya. Ya manfaatnya paling cuma buat gaya-gayaan aja itu. Kalau bisa dapat banyak berarti bagus. Padahal tanggung jawabnya lebih besar. Maka lebih penting daripada soal mengumpulkan yaitu bagaimana kita membagi dan mentasarufkan apa yang sudah terkumpulkan oleh kita.
Lebih baik kita melakukan tauzi dan tasharruf secara credible dengan pertanggungjawaban, dengan akuntabilitas yang sungguh-sungguh sempurna baik di hadapan masyarakat. Kemudian masyarakat terpanggil sendiri untuk menitipkan zakat, infaq, shodaqohnya kepada kita daripada kita bujuk-bujuk kurang. Sementara kita tidak terlebih dahulu membuat skema yang jelas mengenai tauzi dan tasharruf.
Ayat yang dibaca qori’ ini masyaallah اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْ. Kyai Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1952 itu memerintahkan kepada NU “tafassahu”. NU yang tadinya itu organisasi yang sangat eksklusif, organisasi ulama yang sangat eksklusif. Tidak mudah bagi orang-orang untuk mendaftar menjadi anggota.
Saya mendapatkan cerita dari Kyai Muchit Muzadi, kakaknya Kyai Hasyim Muzadi yang tertua, bahwa pada waktu beliau menjadi santri, beliau mondok di Tebuireng, beliau itu sudah menjadi santri senior dan sebagai tangan kanannya Kyai Abdul Karim Hasyim. Semua urusan pesantren yang berada di bawah tanggung jawab Kyai Abdul Karim Hasyim itu diserahkan operasinya kepada Kyai Muchit Muzadi.
Saat itu, beliau belum bisa menjadi anggota NU. Belum bisa. Belum diterima dan tidak boleh ikut rapat karena bukan anggota. Jadi kalau ada rapat, beliau hanya menguping dari luar. Kenapa yang bisa menjadi anggota ini kyai-kyai yang sudah disepakati oleh semua kyai-kyai yang lain bahwa memang mempunyai kapasitas sebagai ulama yang mu’tabar.
Jadi sulit sekali, walaupun kemudian jelas kelihatan mutu kepemimpinannya jelas sekali. Kita tahu yang ada di sana Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Abdul Wahab Chasbullah, Kyai Ridwan Abdullah, dan seterusnya. Tapi memang ketat sekali.
Tetapi di bawah kepemimpinan Kyai Abdul Wahab Chasbullah tahun 1952, beliau mendeklarasikan tafassuh, tafassahu. Maka NU dinyatakan sebagai partai politik dan dengan begitu lalu secara instan yang tadinya ini organisasi ulama yang eksklusif menjadi organisasi massa yang luas sekali karena tidak butuh prasyarat.
Sehingga NU yang tadinya menjadi organisasi yang sebetulnya dalam kenyataan itu lokal tiba-tiba menjadi nasional dan memperoleh suara sampai 18% pada Pemilu 1955 yang tidak pernah dicapai partai manapun yang mengatasnamakan NU sampai sekarang.
Dan memang jelas dan nyata janji Allah يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْ sehingga perhubungan NU dengan berbagai pihak menjadi semakin luas. Kesempatan-kesempatan yang semakin luas sampai sekarang terakhir saya sampaikan berulang-ulang. Hasil survey terakhir tahun 2023 sudah 56,9% penduduk Indonesia mengaku NU. Ini betul-betul sudah yafsahillahu lakum.
Dalam keadaan begini, kita butuh kelanjutan dari ayat ini وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا. Kalau sudah ada ifsah yang sampai sebegitu luasnya ini ya kita perlu konsolidasi lagi. Ini yang kemudian diumumkan oleh PBNU sejak awal. Mari kita merapat kembali. Qilan suzu, kita lakukan konsolidasi secara komprehensif sedemikian rupa supaya terbentuk meritokrasi sehingga orang yang kemudian mendapatkan kedudukan dan tanggung jawab itu memang persis didasarkan pada kapasitasnya masing-masing.
Jadi, orang mendapatkan kedudukan dan tanggung jawab karena memang memiliki kapasitas. Sistem ini yang sedang kita bangun sekarang. Maka kita lakukan konsolidasi komprehensif mulai dari konsolidasi tentang tata laksana dan tata kelola, konsolidasi mengenai sumber daya-sumber daya, baik sumber daya aset maupun sumber daya manusia, dan konsolidasi agenda-agenda. Sekarang ini yang saya minta kita lakukan bersama-sama.
Koherensi
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama sudah mengesahkan pada akhir Juli yang lalu, mengesahkan Rencana Strategis Nasional Nahdhatul Ulama sampai dengan tiga tahun kedepan (2024-2027). Di situ ada agenda-agenda yang secara sistematis diformulasikan sedemikian rupa untuk bisa diimplementasikan.
Maka terkait dengan ini, pertama bahwa renstra nasional ini dalam proses untuk dijabarkan menjadi rencana-rencana strategis di tingkat daerah. Apakah itu di tingkat provinsi, di tingkat PW, maupun di tingkat kabupaten/kota, atau di tingkat PC.
Baca Juga Konsolidasi Organisasi, Pandu Membangun Ekosistem yang Padu
Dalam konteks Rakernas LAZISNU ini, yang ingin saya minta kepada LAZISNU adalah untuk memikirkan skema tauzi dan tasharruf itu dalam kaitannya atau yang merujuk kepada Rencana Strategis NU yang sudah saya sahkan itu. Supaya nanti kelihatan bahwa apa yang dilakukan LAZISNU ini mencerminkan Rencana Strategis Nasional Nahdhatul Ulama.
Dari situ akan kelihatan, nanti akan muncul meritokrasi, akan muncul realistas signifikansi NU, makna kehadiran NU di tengah-tengah masyarakat. Dan kalau itu bisa tercapai maka para mitra yang hadir di sini akan menjadi lebih mengerti. Kalau kita bermitra dengan LAZISNU itu kira-kira jadinya apa nanti. Karena nanti di dalam renstra itu bukan hanya tentang bentuk-bentuk kegiatan, tapi juga target tentang impact, bukan soal input-nya, tapi bagaimana outcome-nya. Apa yang ingin dicapai sebagai dampak realitas di tengah masyarakat.
Ini semua sedang kita bangun model-model perumusannya dan saya kira kesempatan Rakernas LAZISNU ini merupakan kesempatan yang baik sekali. Saya minta nanti Habib Ali bisa berkomunikasi intensif dengan Pak Amin Said Husni sebagai penanggung jawab soal ini agar nanti skema rencana kerja dari LAZISNU ini memang sesuai sehingga hasilnya menjadi koheren.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengenai penggunaan platform digital. Terima kasih dan saya ucapkan selamat kepada LAZISNU telah mengembangkan platform digital yang reliabel. Tetapi, perlu diketahui bahwa sekarang kita ini sedang membangun roadmap untuk konsolidasi penyatuan berbagai macam platform digital di lingkungan NU ini berdasarkan agenda untuk membangun ekosistem NU yang koheren. Ekosistem NU ini kan isinya macam-macam: struktur NU, banom-banom, madrasah-madrasah, dan lain-lain itu ekosistem NU.
Kita sekarang sedang membangun strategi untuk mengkonsolidasikan seluruh ekosistem ini menjadi ekosistem yang koheren. Salah satu metodenya adalah dengan konsolidasi digital.
Maka, nantinya akan ada proses integrasi dari platform-platform digital dalam ekosistem NU ini termasuk LAZISNU ini dan semua yang termasuk dalam ekosistem NU, kita integrasikan menjadi satu SEMESTA DIGITAL NU. Sehingga orang yang punya hajat, punya interest yang berbagai macam ini mereka tidak perlu men-download macam-macam aplikasi yang berbeda-beda, tetapi cukup satu aplikasi dan semua yang dia butuhkan akan ada di situ semuanya. Insyaallah nanti akan seperti itu. Mudah-mudahan bisa kita selesaikan tuntas dalam waktu selambat-lambatnya tiga tahun kedepan.
Saya kira Pak Amin Said ini perlu didorong juga supaya penanggung jawab platform digital ini mulai engage dan berkomunikasi dengan tim konsolidasi digital NU yang sudah kita bentuk.
Melihat partisipasi yang ada dalam Rakernas ini, sebagaimana ini dilaporkan oleh Habib Ali tadi. Saya merasa berbesar hati, ini sangat encouraging sangat membesarkan hati dan membuat optimis bahwa LAZISNU ini nanti akan bisa berkembang dengan lebih baik.
Saya ingatkan sekali lagi, berkembang lebih baik itu artinya tauzi dan tasaruf nya lebih akuntabel, lebih kredibel, dan lebih memiliki makna strategis yang sungguh-sungguh dirasakan oleh masyarakat. Selamat berapat kerja, semoga menghasilkan manfaat-manfaat yang membawa berkah untuk Nahdhatul Ulama, untuk masyarakat, untuk bangsa negara, dan untuk kemanusiaan.
*Transkip Pidato KH Yahya Cholil Staquf dalam acara Rakernas LAZISNU PBNU di Jakarta, 6-8 September 2024.