Ide

Menjawab Stigma Ihwal Kemelaratan NU

GUSYAHYA.ID – Berbicara ekonomi di kalangan NU, ada terminologi populer yang tidak lagi asing di telinga kita yang hampir menjadi stigma bahwa NU adalah kumpulannya orang-orang melarat.

Satu persepsi yang harus dijernihkan. Harus diketahui terlebih dahulu siapakah yang dimaksud melarat. Apakah yang melarat itu warganya, organisasinya atau pengurusnya? Survei yang akurat tentang terminologi itu pun sepertinya belum ada, bahkan mungkin belum dilakukan.

Artinya, sangat mudah terminologi tersebut dibantah. Pertama, apakah warga NU melarat? Sebetulnya NU ini bukan kumpulan orang-orang melarat. Salah satu indikator yang mudah sekali dilihat adalah antrean haji. Jutaan orang yang mengantre haji itu paling tidak separuhnya adalah orang NU.

Bukti lainnya adalah gerakan koin yang dilakukan beberapa PCNU seperti PCNU Sragen yang menaruh kotak di tiap rumah warga NU dan dicollect secara berkala setiap bulannya.

Baca Juga

Berdasarkan laporan, bahwa gerakan koin di PCNU Sragen ini setiap bulannya memperoleh hasil yang luar biasa. Ada yang mengatakan tidak kurang dari 1 miliar rupiah.

Begitu pun dengan PCNU Magelang yang hasilnya bisa digunakan untuk modal dalam membuat beberapa bisnis atau usaha. Itu semua adalah uang yang dicollect dari warga NU. Kalau warga NU ini melarat, tidak mungkin bisa diajak mengumpulkan uang begitu banyaknya. Maka terminologi tersebut penting untuk dijernihkan.

Kedua, jika organisasi NU disebut melarat, ukurannya pakai apa? Karena kalau ukurannya adalah aset yang dimiliki dalam segala macam bentuknya, tentu NU bukan organisasi yang melarat.

NU memiliki aset-aset yang jika dijumlah nilainya sangat besar. Seperti LP Ma’arif NU yang memiliki madrasah dan sekolah lebih dari 26 ribu di seluruh Indonesia. Rumah sakit, masjid, kampus-kampus yang dimiliki NU sekarang juga banyak.

Baca Juga Lesbumi: Menolak Rekayasa Budaya

Selain itu, NU juga memiliki lebih dari 6 juta bidang tanah di seluruh Indonesia berdasarkan laporan dari lembaga wakaf PBNU. Belum lagi jika dihitung dari luasan lahannya sehingga secara akumulatif berapa luas tanah wakaf yang dimiliki NU.

Jadi, secara organisasi NU ini tidak melarat. Justru NU itu sangat kaya raya, hanya saja asetnya belum dicatat. Harus diakui bahwa NU belum memiliki kebiasaan mencatat asetnya. Sampai-sampai KH Hasyim Muzadi pernah bilang “Pokoknya kalau tidak ada plangnya berarti itu NU”.

Ketiga, adalah tentang pengurus atau aktivis NU. Ya, harus diakui memang banyak orang ingin jadi pengurus NU karena tidak punya pekerjaan. Jadi, kalau yang dimaksud melarat ini aktivis atau pengurus NU ya mungkin ada benarnya.

Tapi tidak semua melarat, banyak pula aktivis atau pengurus NU yang kaya dengan latar belakang dan keahlian berbeda. Ada yang jadi pejabat, akademisi, dll. Ada yang jadi pengusaha seperti KH Abdul Hakim Mahfudz, pengasuh Ponpes Tebuireng yang juga pengusaha besar di bidang minyak.

Baca Juga Salafi

Terminologi tersebut sepertinya menjadi penyebab atas lahirnya tuntutan-tuntutan yang selama ini juga kita dengar, yaitu tuntutan kemandirian NU. Sampai-sampai kemarin pada saat Muktamar NU, kemandirian dijadikan sebagai tema.

Sayangnya, kemandirian NU yang dimaksud itu juga tidak jelas. Kemandirian yang seperti apa? Kemandirian untuk siapa? Kemandirian yang bagaimana?

Ada yang bilang maksudnya adalah kemandirian warga. Mandiri yang bagaimana? Memangnya selama ini warga NU mengemis semua? Warga NU selama ini bekerja dengan baik semua.

Jadi petani, dagang dan lain sebagainya mereka bisa hidup dengan baik. Tidak mungkin NU yang warganya kurang lebih sekitar 150 juta jiwa ini adalah kumpulan para pengemis. Jadi, mandiri untuk warga yang dimaksud itu seperti apa? Kalau kemandirian yang dimaksud untuk pengurus NU ya bisa jadi. Itu mungkin dibutuhkan program agar pengurus bisa mandiri.

Baca Juga Zaman Baru, NU, dan Republika

Apabila kemandirian yang dimaksud adalah untuk organisasi, maka hal ini patut dipertanyakan maksudnya mandiri yang bagaimana? Apakah maksudnya supaya organisasi bisa mengerjakan urusannya sendiri tanpa harus dibantu oleh yang lain, sehingga bisa melakukan apa saja yang diinginkan tanpa ada pengaruh yang lain?

Jika benar demikian, maka itu pun juga bukan sesuatu yang layak untuk dijadikan prinsip. Karena NU berhadapan dengan masyarakat luas disertai beberapa aspek yang kompleks. Sehingga tidak mungkin NU mengerjakan urusan-urusannya sendirian.

Ada sebuah konsep ekonomi kerakyatan yang diinisiasi oleh Prof. Dr. Mubyarto (Dosen UGM) yang kemudian oleh LPNU (Lembaga Perekonomian NU) diterjemahkan menjadi sebuah program ekonomi keumatan.

Ekonomi kerakyatan itu adalah suatu konsep yang bidang penerapannya lebih kepada kebijakan pemerintah. Maka dari itu, kondisi perekonomian bangsa dan negara (termasuk kondisi kemelaratan warga NU) itu adalah tanggung jawab pemerintah, bukan NU. Dalam tata negara kita masalah ekonomi itu menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah.

Baca Juga Khidmah Lebaran Nahdlatul Ulama

Oleh karena itu, kita harus berangkat dari cara berpikir dan persepsi yang jernih tentang masalah yang kita hadapi. Karena apa yang dikerjakan itu tergantung pada masalah yang akan dihadapi. Kalau keliru memahami masalah maka sudah pasti jawabannya salah.

Ekonomi keumatan yang dibuat oleh LPNU ini harus diperjelas maksudnya agar tidak hanya menjadi konsep tanpa ada tindakan atau kenyataannya. Pengurus NU tidak boleh hanya untuk gagah-gagahan, kerja yang dilakukan harus konkret dan harus jelas apa yang dikerjakan di lapangan serta bisa diukur hasilnya.

Tidak boleh ada agenda yang hanya tertulis di atas kertas. Setiap kata harus menjadi kerja dan setiap pekerjaan harus bisa diukur capaian-capaiannya dengan jelas.

Sebagai lembaga NU, LPNU harus memahami bahwa domain dari lembaga-lembaga NU lebih banyak mengarah pada hal-hal yang sifatnya kebijakan (organisasi) untuk dijalankan di lapangan oleh instrumen-instrumen NU yang lain, termasuk di dalamnya badan-badan otonom.

Baca Juga

LPNU diharapkan mampu menghasilkan rancangan-rancangan tentang kebijakan organisasi yang harus dijalankan. Kebijakan itu terkait pola kegiatan yang relevan dengan perekonomian di lingkungan warga dan harus diperjuangkan kepada stake holder yang lebih luas khususnya dalam hal ini adalah pemerintah.

Bagaimana caranya? NU bisa membangun wacana publik tentang kebijakan yang diperlukan oleh rakyat, sebagaimana yang kita pahami dari masalah yang berkembang di tengah-tengah rakyat. Selain itu juga melakukan pembicaraan-pembicaraan politik untuk memengaruhi kebijakan di pelbagai sektor terkait ekonomi.

Apakah NU harus membuat kebijakan ekonomi sendiri? Tidak perlu, karena sudah ada kebijakan ekonomi negara yang di dalamnya jelas terdapat hal-hal yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. NU hanya perlu membuat kebijakan organisasi yang mampu menjamin agar kebijakan ekonomi negara yang berisi agenda pemerintah ini benar-benar sampai kepada rakyat atau warga.

Seperti misalnya yang dilakukan NU saat ini membuat satu skema program yang disebut gerakan keluarga maslahah NU. Salah satu fungsinya adalah sebagai saluran untuk menyampaikan agenda-agenda pemerintah kepada warga.

Kalau NU membuat kebijakan ekonomi sendiri, khawatirnya tidak akurat karena tidak memiliki lembaga untuk mengumpulkan data serta tidak memiliki alat untuk melakukan analisis terhadap data yang masuk. NU tidak perlu repot-repot, NU bisa mencari di dalam keseluruhan setup policy itu yang NU bisa ikut membantu.

Sumber: Pidato Gus Yahya di Pembukaan Rakernas Lembaga Perekonomian NU

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button