Ide

Menghormati Titik Tolak Pembangunan Peradaban

GUSYAHYA.ID – Kita hidup di alam yang sekarang dikatakan modern seperti ini oleh para sejarawan oleh para dikatakan mulainya dari momentum yang kemudian disebut sebagai Renaisans, momentum pencerahan di Eropa pada akhir abad pertengahan, yang ini menjadi titik tolak dari berkembangnya apa yang kemudian hari ini kita hidupi sebagai peradaban modern. 

Nah inti dari pencerahan dari Renaisans adalah bahwa masyarakat khususnya masyarakat Eropa pada waktu itu menyadari tentang kenyataan perubahan-perubahan besar di dalam peradaban yang, mau tidak mau harus diikuti dengan juga menyesuaikan diri dengan menyesuaikan cara berpikir, menyesuaikan cara bertindak, dan menerima menerima berbagai gagasan baru untuk kemaslahatan masyarakat yang lebih baik. Ini landasan dari Renaisans itu.

Tetapi semua itu dilakukan dengan pertama tetap menghargai tradisi dan justru bahkan menggali inspirasi-inspirasi dalam tradisi itu untuk memberikan jawaban-jawaban baru dari masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat akibat perubahan-perubahan tersebut. Ini oleh sejarawan dicatat bahwa Renaisans ini mulainya dari salah satu kota di Italia Florence.

Nah, Bapak Ibu sekalian yang saya hormati Nahdlatul Ulama ini juga sebetulnya telah mengalami Renaisans, telah mengalami pencerahan dan pembaharuan. Dulu itu NU tidak seperti hari ini. Dulu NU itu, apalagi kok pakai apa namanya celana panjang seperti saya sekarang ini, dasi saja haram. Dulu itu sekolah itu dihindari karena dianggap tiru-tiru londo makanya orang NU ini paling telat sekolahnya. 

Tapi kemudian para pemimpin NU, para ulama NU menyadari bahwa zaman berubah dan ini menuntut adanya perubahan-perubahan di dalam Nahdlatul Ulama. Saya sendiri merasa sangat beruntung bahwa saya mengalami secara langsung detik-detik momentum ketika perubahan itu diangkat sebagai wacana di tengah para ulama. 

Baca Juga

Renaisans NU di Krapyak

Pada tahun 1981 diselenggarakan Musyawarah Nasional Alim Ulama di Jogja di Kaliurang setelah wafatnya KH Bisri Syansuri dan di dalam Munas Alim Ulama itulah dipilih sebagai Rais Aam pengganti Kiai Bisri Syansuri yaitu Syaikhona KH Ali Maksum Allahu Yarham. 

Dan dari waktu ke waktu sesudah itu saya menyaksikan sendiri, wah ini jarang yang punya barokah seperti saya, tahun 81 itu saya kelas 3 SMP menjelang lulus kelas 3 SMP 81 itu Munas Alim Ulama, semua kiai-kiai utama NU hadir, kiai sepuh semuanya hadir dan saya ditunjuk untuk memimpin “Indonesia Raya”. Bayangkan ini, ndak ada yang pernah “ngginikan Mbah Ali” itu nggak ada, kecuali saya itu enggak ada. 

Ada Kiai Ali, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Mahfudz Tebuireng, Kiai Hamid Pasuruan, saya ginikan pada manut semuanya. Ini Masya Allah. 

Karena saya tinggal di sini, saya menyaksikan langsung waktu demi waktu bagaimana pencerahan itu digulirkan di dalam Nahdlatul Ulama sehingga mencapai salah satu momentum besar dengan Munas Alim Ulama di Situbondo dan Muktamar di Situbondo juga 1983-1984. Di sana Nahdlatul Ulama dengan tegas menyatakan untuk menarik diri dari politik praktis untuk kembali berfungsi sebagai jam’iyah diniyah ijtimaiyah

Tapi di balik itu bergulir juga pemikiran-pemikiran baru yang bernas yang luar biasa pengaruhnya di tengah-tengah perkembangan bukan hanya masyarakat Islam di Indonesia ini saja tetapi bahkan di tengah-tengah masyarakat internasional. Maka saya berani katakan hari ini bahwa Renaisans Nahdlatul Ulama dimulai dari Krapyak Yogyakarta

Di sini juga tahun 1989 di dalam Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama menyatakan dengan tegas dan resmi bahwa fiqih harus dikontekstualisasikan dengan zaman. Dan keputusan ini sebetulnya berawal dari pemikiran dari arahan Syaikhina Kiai Ali Maksum bahwa Islam itu harus solihun likulli zaman wa makan. Ini Kiai Ali Maksum waktu itu. Masyaallah.  

Jadi Islam itu harus patut, harus kompatibel, harus menjadikan baik di dalam setiap ruang dan waktu, setiap zaman dan makan. Kalau ada yang didaku, diklaim sebagai Islam ternyata menjadi masalah berarti bukan Islam karena Islam itu harus shalihun likulli zaman wa makan. Saya tidak mau bertanya dalilnya apa pokoknya ya dalilnya ya Mbah Ali itu, sudah. Kalau Mbah Ali sudah dawuh begitu ya itu dalil. Orang goblok nggak usah nanya-nanya lagi. 

Kalau ada yang ngaku-aku sebagai Islam, “Ini Islam harus ikut ini!” tapi ternyata menjadi masalah menjadikan kerusakan bahkan di dalam masyarakat menjadikan perbenturan konflik kekacauan dan lain-lain pasti bukan Islam, pasti bukan sejatinya Islam. Kalau ngotot disebut Islam berarti Islam abal-abal. Karena sekali lagi Islam itu harus sholihun likulli zaman wa makan

Itulah sebabnya kemudian lahir keputusan Muktamar ke-27 tahun 1989 di Krapyak ini, saya tahu betul karena saya panitia, menyatakan bahwa fiqih harus dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman supaya Islam ini tetap sholihun likulli zaman wa makan

Nah Bapak Ibu sekalian yang saya hormati, ini Masya Allah, Kiai Ali Maksum ini punya wanti-wanti sampai sekarang saya kira akan tetap relevan. Bahwa kita ini harus terus-menerus berpegang pada ta’allum fi Nahdlatil Ulama, kita jangan berhenti belajar tentang Nahdlatul Ulama walaupun sudah jadi ketua PWNU jangan berhenti belajar, walaupun sudah Rais Syuriah jangan berhenti belajar. 

Karena NU itu luar biasa NU ini kandungannya luar biasa tidak akan habis-habis kita pelajari kita harus terus mempelajari apa itu Nahdlatul Ulama, dan sedapat-dapatnya kepahaman yang kita miliki tentang Nahdlatul Ulama kita harus mau mengajarkan kepada semua orang ta’lim binahdlati ulama. Kita harus mau berjuang dengan Nahdlatul Ulama, jihad fi Nahdlatil Ulama dan kita harus mampu bersabar dalam keadaan apapun di Nahdlatul Ulama, ashabru binahdlatil ulama. Ini wanti-wantinya Mbah Ali kepada kita semua. 

Maka tidak akan habis-habis kita mengembangkan pemikiran tentang Nahdlatul Ulama. Saya juga insya Allah akan terus memegang teguh wanti-wanti dari Mbah Ali untuk tidak berhenti belajar mempelajari Nahdlatul Ulama. 

Baca Juga Salafi

NU, Atsarun Nubuwwah dan GKMNU

Nah pada detik ini Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati, saya sampai kepada kesimpulan yang menjadi keyakinan buat saya bahwa Nahdlatul Ulama ini adalah atsarun nubuwwah, Nahdlatul Ulama ini adalah labet dari Nubuwwati Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. 

Adanya NU ini karuan karena adanya nubuwah dan risalah Kanjeng Rasul Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan jelas bahwa dari sejarah yang telah dilalui Nahdlatul Ulama ini lahir dari rangkaian sama sekali tidak terputus dari jalur perjuangan Islam mulai dari Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sampai kepada penerus-penerusnya. 

Maka Bapak/Ibu sekalian kita semua harus menjadikan niat untuk melanjutkan rantai perjuangan Islam ini sebagai titik pangkal motivasi kita di dalam ber-Nahdlatul Ulama. Dan kita jadikan teladan dari para pendahulu-pendahulu kita sebagai acuan di dalam kita melakoni khidmah kita di dalam Nahdlatul Ulama. 

Itulah sebabnya Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati, saat ini pengurus besar Nahdlatul Ulama menggulirkan satu agenda yang kami sebut sebagai Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (GKMNU).

Gerakan Keluarga Maslahat ini kita maksudkan sebagai suatu wahana untuk mengeksekusi untuk melaksanakan berbagai macam program yang sudah dirancang oleh Nahdlatul Ulama ini sedemikian rupa, supaya manfaat dan maslahahnya ini sungguh-sungguh bisa dirasakan oleh warga dan semua itu akan kita wadai di dalam ukuran-ukuran dari capaian program itu akan kita cantolkan kita kepada keluarga. 

Program itu dianggap mencapai hasil atau tidak tergantung dari apakah keluarga merasakan manfaatnya atau tidak. Karena keluarga ini adalah unit yang paling kecil dalam organisasi masyarakat. Dengan demikian Bapak/Ibu sekalian Nahdlatul Ulama ini akan kita arahkan agar sungguh-sungguh melakukan pekerjaan-pekerjaan di tingkat basis untuk sungguh-sungguh berhubungan, bergulat bersama-sama dengan warga bersama-sama dengan keluarga-keluarga mereka. 

Kenapa ini harus kita lakukan? Karena ini adalah wadhifah dari para pendahulu kita yang dimaksudkan sebagai lanjutan dari wadhifah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Ini bukan soal mau mengunggulkan satu kaum atau merendahkan yang lain, tidak. Kita semua tahu bahwa Islam ini Islam ini sebetulnya adalah dimaksudkan sebagai hidayah lil alamin itu sebabnya Kanjeng Rasul itu diutus rahmatan lil alamin untuk seluruh alam. Islam ini dimaksudkan untuk orang-orang Jawa juga sejak dari sononya. 

Tetapi dalam sejarah kita tahu bahwa Islam ini dimulai dengan melakukan reformasi perbaikan dari satu peradaban kuno di Hijaz yaitu peradaban Quraisy. Quraisy ini direformasi dengan Islam sehingga bangkit. Nah ini jelas manshush di Al-Qur’an: liila fi quraisyin… Mulainya ini Quraisy, Quraisy dulu yang dijadikan contoh pertama dari bagaimana Islam melakukan reformasi peradaban adalah reformasi Quraisy dan itu di Makkah. 

Maka manshush di Quran itu bahwa Makkah adalah Tanah Air dari Quraisy. Maka para penerus nubuwah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ini juga ada dari kalangan Quraisy, apalagi dzurriyah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. 

Dalam kesempatan lain saya sudah pernah bicara tentang siapa itu dzurriyah, dzurriyah itu pokoknya yang lahu nutfathun nubuwwah itu dzurriyah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Ada catatannya ataupun tidak ada catatannya. Kalau kita yakini bahwa di dalam dirinya ada nutfhah nubuwwah itu dzurriyah rasul Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Apalagi Kiai Jirjiz ini karuan sudah jelas-jelas Quraisy ini jelas. Gimana dari Mbah Maksum, Mbah Nuri, Mbah Sambu dan seterusnya tidak ada yang bisa mengingkari bahwa Kiai Jirjiz ini juga lahu nuthfatun nubuwwah. 

Baca Juga Zaman Baru, NU, dan Republika

Kita juga yakin bahwa Sri Pakualam, Sri Sultan Hamengkubuwono, Sultan Mangkunegara dan lain sebagainya yang berasal dari Mataram itu juga lahum nuthfatun nubuwwah. Dari sejak awal itu dinyatakan gelarnya itu Sayyidin Panoto Agomo, Sayyid-sayyid ini. Dan nasab Joko Tingkir misalnya itu masyhur-masyhur nasabnya min dzurriyyati Rasulillah Muhammad Shallahu Alaihi Wasallam. Ini di Jawa tapi asalnya semua dari Hijaz, dari Makkah Al Mukarromah yang mau didatangi oleh para haji ini.

Penerus-penerus Kanjeng Nabi adalah mereka yang menjadikan Makkah sebagai titik tolak. Itu sebabnya dikatakan bahwa: 

نحن جيران بذا الحرم ، حرم الإحسان والحسن 

نحن من قوم به سگنوا ، وبه من خوفهم امنوا

Kami, penerus-penerus Rasulullah ini bertetangga dengan Haramain, yaitu Ka’bah. Dan karena Ka’bah itulah maka Makkah ini aman dari apa yang dikhawatirkan oleh orang-orang lain di luar Makkah karena adanya Ka’bah. Man dakhalahu kaana aamina.

Nah dari situ dapat ditandai bahwa perkembangan Islam ini pada mulanya yang dijadikan contoh adalah Quraisy. Kemudian diserukan, diberitahukan dengan apa para penerus Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ini dapat ditandai, dapat dititeni itu dengan apa?;

وبأيات القرآن عنوا ، فاتئد فينا أخا الوهن

نعرف البطحا وتعرفنا ، والصفا والبيت يألفنا

Dari mana kita bisa menandai para penerus Rasulullah Saw dengan ayat Al-Qur’an yang tampak pada apanya? Pada akhlaknya. Karena Rasulullah Saw itu khuluquhul Qur’an, maka para penerus Rasulullah Saw ini kita tandai bahwa mereka semua berakhlak Qur’an.

Nah kalau kita sudah tahu mana yang penerus Nabi dan mana yang nggak jadi titenannya Quran itu, bukan tes DNA. Itu yang cocok dengan Qur’an yaitu penerusnya Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tidak usah nanya catatan, tidak tes DNA. Wong kelihatan kok Qurannya juga sama dari dulu sampai sekarang. Wa bi’ayatil qurani unu

Baca Juga Khidmah Lebaran Nahdlatul Ulama

Nah kalau sudah tahu siapa yang penerus Kanjeng Nabi berdasarkan tanda-tanda Quran, fatai’dz fiina akhal wahani, “ambillah penguatan bersama kami wahai orang yang kesusahan”. Orang susah itu kalau kumpul dengan penerusnya Kanjeng Nabi itu jadi kuat. 

Makanya kita bisa lihat kenapa saya yakin bahwa Nahdlatul Ulama ini atsarun nubuwwah karena orang kalau kumpul dengan Nahdlatul Ulama jadi kuat. Susah-susah kumpul NU itu jadi kuat. 

Nah ini yang menarik di situ, yang dikhitabi adalah akhal wahani, orang yang sedang kesusahan. Orang susah itu bukan cuma orang melarat, orang kaya itu banyak susahnya, pejabat-pejabat, apalagi caleg hari-hari ini itu tambah paling susah. Dan mereka tahu di mana mereka bisa mencari dukungan kekuatan. 

Jadi saya sekarang ini banyak dicari-cari ini karena banyak orang kesusahan ini mau mencari kekuatan dari Nahdlatul Ulama, fatai’dz fiina akhal wahani. Sudah kalau susah gabung dengan para penerus Rasulullah. 

Karena memang wadhifahnya sebagaimana wadhifah Rasulillah yaitu rahmatan lil alamin maka ini juga yang dikerjakan oleh para penerus Rasulullah. Sehingga na’riful batha wata’rifuna, sehingga para penerus Kanjeng Nabi ini kenal betul dengan kampung-kampung desa-desa kenal betul bukan cuma tahu tempatnya tapi kenal orang-orang. 

Saya dulu menyaksikan langsung bagaimana Syaikhina Kiai Ali Maksum ini suku-suku, bergaul, nyerawungi orang-orang kampung, tahu satu persatu, bahkan santri-santrinya itu disrawungi satu per satu hingga ini menjadi thabi’ah beliau. Ini Masya Allah. 

Saya punya sepupu ya karena Krapyak begitu besar ya, sepupu saya ini ketemu Mbah Ali ini pas sowan mondok, ketemu Mbah Ali ditanyain; namanya siapa? Bapaknya siapa? Namanya Sirodj, Bapaknya Mujab dari Pamotan, Rembang. 

Habis itu terus tinggal di komplek di I tempatnya Ibu Ummi Salamah sama saya. Habis itu berbulan-bulan, ada kalau 3 bulan nggak pernah ketemu sama sekali dengan Mbah Ali. Nah waktu itu kan selatan ini belum ada kamar mandi, kalau mandi harus ke utara sana komplek H. 

Nah suatu hari ini sepupu saya ini mau mandi ke utara ketemu Mbah Ali, nah Mbah Ali ini masih ingat: “Sirodj anak e Mujab”, kata Mbah Ali. Ini Mbah Ali, karena betul kenal satu persatu. Sahabat-sahabat beliau di perkampungan sekitar Bantul, Jogja itu, Masya Allah, na’riful batha wata’rifuna, dan kampung-kampung ini kenal betul dengan beliau dengan penerus Nabi. 

Seperti Mbah Ali ini bukan seperti muballig-muballig cuma datang acara terus balik, seperti Ketua Umum PBNU ini datang, pidato, terus pulang itu. Tidak, betul-betul nyrawungi. Sehingga na’riful batha wata’rifuna. Nah ini dasar kenapa kita ingin meluncurkan Gerakan Keluarga Maslahah supaya Nahdlatul Ulama ini betul-betul ta’riful batha wata’rifuna, supaya Nahdlatul Ulama ini kenal betul dengan warga dan warga kenal betul dengan Nahdlatul Ulama karena srawung secara langsung. 

Baca Juga

Monumen Tradisi

Dan semua kita laksanakan dengan pedoman yang jelas, yaitu: wasshofa walbaita ya’lafuna, Shofa itu adalah monumen tradisi, monumen dari awal peradaban. 

Ini nanti njenengan kalau haji itu nanti disuruh wira-wiri dari Shofa ke Marwah. Cuma disuruh wira-wiri itu perlunya apa? Tidak bisa dinalar. Cuma dibilang dulu itu Siti Hajar melakukan itu dan sekarang kok kita disuruh tiru-tiru itu maksudnya apa? Gampang aja yang nggak usah dipikir, ngandel dilakoni, ra ngandel ya wes. Memang tidak ada penjelasan. 

Tetapi kalau kita pikirkan Shofa ini adalah monumen peradaban. Dari Shofa itulah titik mulai ikhtiar Siti Hajar menemukan sumber energi yang akan kemudian berkembang menjadi peradaban besar yaitu Zamzam. 

Maka Bapak/Ibu penting sekali di dalam perjuangan peradaban ini ketika kita menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama ini hendak “Merawat Jagat, Membangun Peradaban” penting sekali kita ini mengidentifikasi dan kemudian menghormati titik tolak dari pembangunan peradaban. 

Kalau di Hijaz, di Makkah ini adalah contoh bagaimana Islam mereformasi peradaban Quraisy maka kita harus berkaca dari sana untuk mereformasi peradaban Nusantara ini dengan energi Islam. 

Nah makanya kita harus hargai monumen-monumennya, titik tolaknya. Itu sebabnya kita semua sampai hari ini tetap ziarah ke makam-makam Walisongo karena beliau-beliau itulah monumen-monumen peradaban. Kita pelihara peninggalan-peninggalan para pendahulu sampai sekarang karena itu adalah monumen-monumen peradaban, dan kita ziarah.

Sebagaimana kita diperintahkan untuk menziarahi Makkah Al-Mukarramah, menziarahi Shofa sehingga Shofa ini akrab dengan kita, monumen peradaban ini akrab dengan kita, awal mula dari peradaban ini akrab dengan kita. Tapi itu semua dengan fokus ke depan, ke arah tawajjuh ilallah subhanahu wata’ala. Maka bukan hanya Shofa tapi juga al-bait, yakni Ka’bah ini harus akrab dengan kita. 

Bahwa di dalam berjuang ini kita terus fokus menghadapkan batin kita kepada kiblat bahwa itu semua adalah li ibadatillah, liila’i kalimatillah, allati hiyal ulya, karena al-bait ini juga harus akrab dengan kita. Wasshofa walbaita ya’lafuna, ini yang sedang kita ikhtiarkan kita coba untuk kita jalankan bersama Nahdlatul Ulama. 

Nah ini semua inspirasi Bapak/Ibu sekalian, ketika kita terjemahkan menjadi agenda-agenda ini jadi rumit, jadi teori, jadi program, jadi jadwal kegiatan dan sebagainya ini akan rumit sekali. Tapi jangan khawatir kepada para pengurus NU ini jangan berkecil hati. Karena ngurusi NU itu seperti orang haji, ndak ada yang sulit gampang semua. Maka tidak perlu terus susah tidur segala macam karena gampang haji itu. 

Semudah-mudahnya ibadah itu ya haji, shalat itu lebih sulit dari haji itu cuma memutari Ka’bah. Sudah tidak mungkin salah, tinggal ikut saja gampang. Bacaan-bacaannya? Tidak membaca tidak apa-apa, orang tidak wajib. Pokoknya buku Kemenag sampean kalungkan, berdoa kepada Allah: “Ya Allah Gusti, pokoknya do’a saya seperti ini–sambil menunjuk buku Kemenag. 

Karena tidak ada wajib, rukunnya memutari Ka’bah tujuh kali, Shofa dan Marwah sama. Habis itu Wukuf di Arafah, tenguk-tenguk. Tidak ngapa-ngapain itu sudah sah. Bahwa kita lalu berdo’a dan lain sebagainya ya itu ngalap barokah. Tapi ibadahnya ya tenguk-tenguk, orang Wukuf itu bahasa Jawanya tenguk-tenguk. Habis itu balang Jumrah, seperti anak kecil, Bismillahi Allahu Akbar tujuh kali. Yang penting dijalani.

Dulu itu, saya pernah diceritai sama KH Mustofa Bisri pernah haji bersama seniman-seniman. Seniman yang nyentrik. Zaman Jamarat belum seperti sekarang. Tetapi jenengan Jamarat sudah enak Buk. Sudah 12 M lebarnya itu, kalau luput ya kebangeten. Dulu itu, kira-kira cuma setengah meter lebarnya. Kalau tidak ngincer beneran ya luput. 

Nah ini ada seniman yang haji bareng Gus Mus, kalau ngincer ini ketampel orang, sampai jatuh, berkali-kali jatuh terus, sampai berdo’a, “Ya Allah Gusti, ini ibadah cap opo?!” 

Baca Juga

Ngurusi NU itu seperti Haji

Begitu itu haji, nyatanya gampang, tidak ada yang sulit, tapi pegal. Karena secara fisik memang berat, mungkin secara mental juga berat karena kumpul dengan teman terus-menerus itu. Apalagi kalau haji suami istri itu hati-hati banyak sabarnya, kalau tidak ingin bertengkar saja,  karena kumpul terus, mulai nglilir sampai tidur lagi itu kumpul orang yang sama. Ini bukan hal yang ringan secara psikolog. Tapi ibadahnya sendiri gampang, gampang cuma bikin capek. 

Lah NU juga begitu, ndak ada yang sulit. Semuanya gampang, capeknya iya. Tapi kan gampang dan ini sudah disaksikan oleh semua orang yang telah berkiprah pada Nahdlatul Ulama. 

Pokoknya NU itu kalau memang perlu dilakukan pasti gampang. Kayak haji itu yang wajib-wajib mesti gampang ndak ada yang sulit haji itu, yang sulit-sulit itu kan yang sunah-sunah itu. Karena yang wajib itu ndak mungkin sulit, kalau sulit berarti tidak wajib gitu loh. 

Ini sama dengan NU, NU itu kalau perlu pasti gampang. Lah kok ketanggor sulit berarti ngga perlu, tidak usah dipikir. Jadi begitu Pak Zuhdi, jadi nyari duit buat beli tanah kok sulit ndak perlu berarti, ndak usah dipikir, begitu saja. 

Karena NU itu kalau memang perlu pasti gampang. Saya sendiri sudah buktikan, selama jadi Ketua Umum ini tidak pernah yang sulit, kalau memang perlu. Kalau memang butuh pasti ada, ndak mungkin NU butuh kok ndak ada itu mustahil. Orang ini atsarun nubuwwah. Nah kalau ndak ada berarti tidak butuh tidak usah dipikir. Lah ndak butuh dipikir buat apa? Kalau butuh pasti ada. 

Maka pertama-tama kita ini ya sama dengan haji itu yang dipikir pertama-tama itu butuh atau ndak, perlu apa nggak, kebutuhannya apa keperluannya, kalau memang butuh pasti ada kalau memang perlu pasti gampang. Nah ini NU. 

Kemarin-kemarin saya sudah sampaikan kepada jajaran pengurus sampai ke MWC kemarin dari Jogja juga ikut Semarang, Alhamdulillah. Apa saja yang akan kita kerjakan terkait dengan khususnya Gerakan Keluarga Maslahah Nahdlatul Ulama ini dan nanti masih ada rangkaian yang lain. Mudah-mudahan sekurang-kurangnya akhir ini atau awal Juli ini semua sudah bisa kita gulirkan sampai ke tingkat desa, menjadi pelaksanaan kegiatan-kegiatan, mohon doa restu panjenengan semua. 

Kepada para calon jemaah haji selamat menunaikan ibadah haji, hajjan mabruran wasa’yan masykuran wa’idhoman maghfuron watijaratan lan tabur

Titip boleh ya, titip ya. Titip nanti jenengan titipkan Nahdlatul Ulama ini kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ya pokoknya nanti jangan lupa “Gusti titip NU”. Itu saja. 

Saya nitip supaya jenengan titipkan Nahdlatul Ulama ini kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nanti di Masyair Haram njenengan jangan lupakan untuk menitipkan NU kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button