Ide

Strategi Humanitarian Islam

GUSYAHYA.ID – Strategi Humanitarian Islam telah berkembang sangat pesat. Kita berhasil menyelenggarakan konferensi internasional R20 di Bali sebagai side event G20, dan juga di Princeton University. Mengapa strategi ini diterima? Karena topik Humanitarian Islam telah menjadi wacana yang cukup kuat di kalangan akademisi internasional dan menarik perhatian publik.

Setelah konferensi di Princeton, akademisi Amerika yang dipelopori oleh Robert W. Hefner menyatakan keinginan untuk menggelar konferensi internasional yang lebih akademis tentang Humanitarian Islam. Mereka meminta PBNU untuk menjadi tuan rumah sekaligus membiayai penyelenggaraan di Indonesia. Hefner telah mengajukan daftar partisipan yang sangat prestisius, termasuk akademisi kelas satu dari Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Insya Allah, konferensi ini akan digelar di Jakarta pada tanggal 5-7 November 2024.

Beberapa peneliti di bawah naungan Robert W. Hefner telah melakukan penelitian pendahuluan dan menyimpulkan bahwa wacana Humanitarian Islam masih menjadi wacana yang sangat elitis. Sementara itu, kalangan aktivis masih memiliki persepsi yang beragam, bahkan sebagian masih belum memahaminya dengan baik.

Ketika kita membuat dokumen Humanitarian Islam sebagai hasil konferensi di PP Tambak Beras Jombang tahun 2017, deklarasi itu kita buat dalam bahasa Inggris. Isi dokumen humanitarian Islam sebenarnya sangat sensitif dan kontroversial. Mengapa sensitif? Karena gagasan humanitarian Islam ini secara frontal menentang gagasan moderasi beragama. Kita tidak puas dengan wacana tentang moderasi agama, apalagi wacana tentang Islam moderat. Kita sangat tidak puas dan menentang keras konsep Islam Moderat.

Baca Juga Responding to a Fundamental Crisis Within Islam Itself

Mengapa kita menentang wacana Islam moderat? Karena wacana Islam moderat mengasumsikan bahwa di tengah kekacauan peradaban yang terjadi saat ini, Islam-lah yang menjadi tertuduh. Ketika misalnya Amerika melancarkan perang di Baghdad dan Afghanistan, mereka berkilah bahwa yang dilakukan adalah “war on terror”, bukan “war on Islam”. Namun jelas sekali yang mereka sasar adalah teror dari arah Islam, sehingga tetap saja Islam menjadi tertuduh. Jadi wacana Islam moderat itu menjadi wacana “penyakit” di dunia sana.

Padahal, kekacauan ini sumbernya bukan hanya dari Islam. Memang ada hal-hal dalam Islam yang memicu kekacauan ini, dan itu yang kita uraikan dalam dokumen humanitarian Islam. Ada elemen-elemen dalam Islam yang menyumbang terhadap kekacauan ini, tetapi bukan Islam yang menjadi penanggung jawab utama dari kekacauan ini. Pihak-pihak lain juga memiliki kesalahan, bahkan mungkin lebih besar dari Islam.

Bayangkan, Amerika menyerbu Baghdad dengan alasan di Irak ada Weapon of Mass Destruction (WMD). Lebih dari satu juta orang Irak mati karena kekacauan itu, baru kemudian ketahuan bahwa tuduhan ini bohong. WMD tidak pernah ada. Jadi mengapa orang tidak berbicara tentang moderasi Amerika? Sekarang orang tidak berbicara tentang Moderasi Rusia atau Cina, mengapa hanya Islam saja? Padahal Islam di mana-mana di seluruh dunia berada dalam posisi inferior, baik secara militer maupun ekonomi, bahkan tertindas seperti di Palestina.

Baca Juga R20: Ikhtiar untuk Mencari Solusi Masalah Global yang Pelik

Mengapa tidak ada yang bicara tentang Moderasi Yahudi atau Moderasi Israel? Ini yang kami tentang.

Maka gagasan dari Humanitarian Islam ini adalah bahwa Islam harus punya jawaban. Kalau tidak punya jawaban, percuma menjadi agama rahmatan lil ‘alamin. Apa gunanya? Islam harus punya jawaban.

Kedua, semua yang terjadi harus kita lihat secara adil, karena kekacauan ini merupakan kontribusi semua pihak. Semua orang punya kesalahan, dan darah telah tumpah bukan hanya baru-baru ini saja. Sudah sekian lama darah tumpah karena kesalahan dari semua pihak.

Tadi Pak Haris mengutip Huntington perihal Clash of Civilization pasca Perang Dingin. Terlepas dari berbagai kritik yang sudah dilancarkan kepada Huntington, saya kira orang-orang lupa bahwa Clash of Civilization ini sudah terjadi sejak beratus, bahkan ribuan tahun yang lalu. Kita hidup di dunia yang relatif aman dan stabil saat ini. Ada perang di sana-sini, ada konflik di sana-sini, tetapi secara hukum relatif stabil dan aman, dibandingkan seratus tahun yang lalu. Dunia semacam ini belum lama ada; rintisannya baru dimulai setelah Perang Dunia II. Sebelumnya, dunia ini adalah rimba pertarungan di antara berbagai macam identitas, dan sebagian besar identitas itu membawa nama agama.

Analisis Dinamika Agama dan Politik dalam Sejarah dan Masa Kini

Konflik antara Islam dan non-Islam bukanlah fenomena unik, melainkan bagian dari pola hubungan antar identitas dan peradaban yang telah ada sejak sebelum kelahiran Islam. Jika kita menelusuri sejarah peradaban manusia, kita akan menemukan bahwa sepanjang waktu, selalu ada konflik dominasi di antara berbagai aktor peradaban, dan banyak dari mereka membawa label agama masing-masing.

Sejak zaman Iskandar Dzulqarnain, Kekaisaran Romawi, Yunani Kuno, Persia, hingga awal abad ke-20, konflik tidak hanya terjadi antara Islam dan non-Islam, tetapi juga di antara sesama penganut Kristen, seperti antara Katolik dan Protestan, yang saling berperang di darat dan lautan.

Sebagai contoh, armada dagang dari Spanyol, Inggris, Portugal, dan Belanda saling merompak di lautan karena mereka berperang satu sama lain. Masing-masing membawa bendera agama mereka sendiri, baik itu Katolik atau Protestan. Konflik ini berlanjut selama era Merkantilisme, ketika kerajaan-kerajaan Eropa berebut tanah jajahan.

Baca Juga ASEAN IIDC 2023: Kredibilitas Agama Harus Dipulihkan

Keterlibatan Islam dalam pertarungan antar peradaban ini adalah sesuatu yang alami, mengingat konstruksi peradaban pada masa itu. Agama sering dijadikan dasar dari konstruksi politik yang kemudian terlibat dalam kompetisi melawan konstruksi politik saingannya. Pada masa itu, belum ada perjanjian perbatasan yang definitif di antara kerajaan-kerajaan, sehingga batas negara ditentukan oleh jangkauan militer masing-masing kerajaan.

Konflik ini mencapai puncaknya pada dua perang besar: Perang Dunia I dan II. Meskipun agama bukan menjadi tema utama, kekalahan Kekaisaran Turki Usmani dalam Perang Dunia I memberi kesan bahwa Islam kalah melawan Eropa Kristen. Padahal, perang tersebut tidak sepenuhnya berdasarkan agama, melainkan merupakan dinamika normal dalam konstruksi peradaban saat itu.

Perang Dunia II melahirkan tragedi kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan korban mencapai lebih dari 85 juta jiwa. Kejadian ini menjadi kejutan traumatis bagi masyarakat internasional dan mendorong upaya untuk menciptakan tatanan dunia baru.

Piagam PBB

Pada Juni 1945, konferensi di San Francisco menghasilkan Piagam PBB, yang kemudian disusul dengan pembentukan Organisasi PBB. Piagam ini menekankan dua prinsip penting:

1. Equal dignity (martabat yang setara) untuk semua manusia, yang melarang perbudakan atau penjajahan.

2. Perbatasan definitif bagi setiap negara, yang menjadi batas kedaulatannya dan tidak boleh diintervensi secara semena-mena oleh negara lain.

Menariknya, para pemimpin Indonesia telah mendiskusikan topik-topik serupa dalam forum BPUPKI sebelum Piagam PBB lahir. Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 memiliki substansi dasar yang sama dengan Piagam PBB. UUD 1945 Indonesia bahkan mencantumkan visi peradaban global yang tidak ditemukan dalam konstitusi negara-negara lain.

Namun, implementasi Piagam PBB tidak serta-merta terjadi. Diskriminasi masih terjadi di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, hingga tahun 1950-an. Bahkan di Arab Saudi, praktik perbudakan masih ada hingga tahun 1990-an.

Baca Juga Islam sebagai Kekuatan Pendamai

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa Piagam PBB adalah konsensus tentang visi, bukan hukum positif yang langsung diterapkan. Tugas para fuqaha dan mujtahid adalah menyikapi apakah perjanjian ini sah secara syariat.

Gerakan global Humanitarian Islam merumuskan visinya untuk mengajak semua orang yang berkehendak baik, dari setiap agama dan kebangsaan, untuk bergabung dalam gerakan global yang memperjuangkan terwujudnya tatanan internasional yang adil dan harmonis, dibangun di atas prinsip penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat bagi setiap manusia.

Meskipun masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, baik dari sisi internal Islam maupun terkait konstruksi politik global, gerakan Humanitarian Islam telah membuat capaian-capaian yang signifikan dalam 10-11 tahun terakhir. Dengan pemahaman ini, kita diharapkan dapat keluar dari jebakan “dusta besar” mengenai moderasi beragama dan terus memperjuangkan keadilan dan keharmonisan dalam tatanan dunia.

*Disampaikan dalam Seminar Nasional Road to International Conference on Humanitarian Islam di UNS, Surakarta, Rabu (11/9/24)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button