Ide

Demi Islam

GUSYAHYA.ID – Kita perlu memahami kalau kita mau berbicara tentang bagaimana memperjuangkan Islam karena yang kita lakukan semua ini demi Islam.

Kalau kita merenungkan kembali sejarah Nahdlatul Ulama hari ini mewarisi sejarah yang sungguh megah yang penuh dengan jatuh bangun, kejayaan, dan segala tragedi-tragedinya. Tapi juga dengan atsar-atsar yang luar biasa raksasa baik manfaat bagi kita semua.

Tapi sejarah itu memang tidak linier, bahkan kebalik-balik. Dulu itu yang mengajak NU keluar dari Masyumi itu adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, kakeknya Gus Romahurmuzy. NU berfusi dengan partai-partai Islam lain jadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu dulu yang mimpin KH Bisri Syansuri bahkan yang menempatkan lambang Ka’bah ini dulu KH Bisri Syansuri. Tapi tidak perlu kaget-kaget amat, kalau melihat hari ini cucunya KH Wahab bagaimana, cucunya KH Bisri bagaimana, tidak usah kaget karena sejarah memang tidak linier.

Nahdlatul Ulama dilahirkan sebagai organisasi ulama yang sungguh-sungguh dimaksudkan, dipelihara sebagai jam’iyyah ulama beneran, sehingga kalau tidak ulama tidak bisa. Harus benar-benar ulama, apalagi orang kayak saya. Kira-kira waktu itu tahun 1926-30-an itu KH Musthofa Aqil daftar saja belum tentu diterima di NU, karena standard-nya belum capai, yang diterima menjadi anggota itu harus betul-betul ulama yang memiliki standard yang tinggi.

Tapi kemudian Nahdlatul Ulama menjadi partai politik, ikut Pemilu sebagai partai politik. Kemudian ikut bergulat di dalam konstituante, tapi ketika Bung Karno mengumumkan Dekrit 1959 membubarkan konstituante, Nahdlatul Ulama mendukung Bung Karno. Nah, belakangan ketika Orde Baru menggantikan Orde Lama, Nahdlatul Ulama ikut Order Baru, ikut mendirikan Orde Baru. Tapi ketika diajak ikut berkuasa atas Orde Baru itu Nahdlatul Ulama tidak mau. Kiai-kiai kita pada tahun itu tidak mau.

Kemudian dilakukanlah fusi tahun 1973, ada NU, PSII, Perti dan lain sebagainya bergabung menjadi satu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ini merupakan fase satu sejarah tersendiri. Kemudian pada Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979 Nahdlatul Ulama menyatakan kembali ke khittah, mundur dari politik praktis dan kembali ke khittah.

Baca Juga

Ada banyak hal yang bisa kita ambil dari sejarah Satu Abad yang megah ini. Ada belokan-belokan yang dulu diambil oleh para pemimpin Nahdlatul Ulama, sampai-sampai, ada sebagian orang yang menuduh, Nahdlatul Ulama ini oportunistik. Ya karena tadi seperti yang saya contohkan, menjadi partai politik, ikut Pemilu, masuk konstituante, tapi konstituante dibubarkan mendukung yang membubarkan; Bung Karno. Tapi setelah itu Bung Karno dijatuhkan karena peristiwa PKI, Nahdlatul Ulama ikut melawan PKI, ikut mendirikan Order Baru. Tapi diajak ikut bersama-sama dengan Pak Harto (Golkar) Nahdlatul Ulama tidak mau. Belakangan, Pak Harto diberhentikan atau mundur, reformasi itu, Nahdlatul Ulama mendukung reformasi.

Nah, saya kira kalau kiai-kiai seperti Kiai Musthofa Aqil, Kiai Muhyiddin Ishaq, Kiai Zaini ini tidak heran, karena sudah hafal, al hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan wa adaman, jadi tidak heran kalau kemarin Pak Ali Masykur pernah PKB, habis itu Demokrat, sekarang datang ke acara PPP ini. Ya, saya tahu Kiai Musthofa Aqil ini walaupun sambil takut-takut dulu itu PKB juga, cuma takut sama mertuanya.

Dulu ketika NU berfusi menjadi PPP, ayah saya lalu menjadi Pengurus PPP bersama ayahnya Arwani Thomafi ini, Kiai Thoifur. Arwani ini kan kebalikan dari saya. Saya ini dulunya kan politisi, politisi beneran, sampai jadi juru bicara Presiden segala. Tapi begitu ayah saya wafat saya jadi kiai, langsung dipanggil kiai saya itu. Jadi saya bilang “saya ini kiai karena kepaten bapak”.

Lah Arwani kebalikan saya, tadinya dia itu sudah ngiyai, sudah mengajar segala macam, ayahnya wafat kok jadi politisi. Jadi dulu ayah saya itu memang Pengurus PPP tapi kakeknya Kiai Bisri Mustofa itu menolak menjadi Pengurus PPP. Beliau mengatakan “Nda, aku mau menjadi Pengurus NU saja” karena waktu itu beliau adalah salah seorang Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah.

Saya itu dulu waktu di Jogja ikut gerakan-gerakan protes pada pemerintah, sampai kepada ikut kampanye golput (golongan putih). Dasar saya pada saat itu Kiai Sahal Mahfudh pada masa-masa itu, tahun 80-an, mengatakan bahwa nyoblos dalam Pemilu itu fardu kifayah saja, kalau sudah ada yang nyoblos yang lain tidak, tidak apa-apa.

Baca Juga: Tahun yang Tidak Masuk Akal

Saya dapat dalil lagi yang lebih kuat, yaitu sabda Rasulullah Saw, min husni Islami al-mar’i tarkuhu ma laa ya’nihi, makanya waktu itu saya kampanye golput. Tapi ketika pulang di rumah saya menjadi Sekretaris DPC PPP Kabupaten Rembang. Teman-teman saya kaget semua, “kok bisa samean menjadi jadi PPP, apa alasannya?”, saya bilang “birrul walidain”.

Maqam Kepemimpinan

Apa yang kita butuhkan sekarang adalah bagaimana memahami benang merah, jadi apa sebetulnya yang konsisten, karena di dalam pandangan para ulama sendiri, walaupun hukum itu bisa berubah karena perubahan `illat, tapi ada nilai yang konsisten di situ. Ini yang harus kita pahami apa sebetulnya nilai konsisten dari Nahdlatul Ulama, walaupun sudah pernah menjadi parpol, menjadi itu, pernah begitu, tapi apa yang konsisten di situ? Ini yang perlu kita pahami.

Kalau kita perhatikan sejak awal, maka sebetulnya Nahdlatul Ulama ini didirikan karena ghirah, karena pemahaman kesadaran dari para ulama tentang berakhirnya suatu era peradaban di dalam sejarah Islam sesudah Perang Dunia I. Kemudian ghirah untuk merintis peradaban yang baru di bawah kepemimpinan ulama. Karena sudah sejak lama sekali, berabad-abad, mungkin sejak era pertengahan periode Umayyah, sekurang-kurangnya, peradaban Islam itu dipimpin oleh politisi dan pemimpin-pemimpin militer.

Nah, kakeknya Gus Romahurmuzy, Kiai Abdul Wahab Hasbullah yang punya gagasan dan minta persetujuan dari guru beliau, Kiai Hasyim Asy’ari dan kemudian ber-istisyaroh (mengharap isyarat) dengan Syaikhuna Kholil bin Abdul Latif Bangkalan untuk mendirikan Nahdlatul Ulama ini sebagai rintisan peradaban di bawah kepemimpinan ulama.

Jadi kalau sebelumnya sekian lama dinamika peradaban Islam itu dikendalikan dan dipimpin oleh politisi-politisi dan pemimpin militer, para muassis Nahdlatul Ulama pada waktu itu berpikir untuk merintis sesuatu bagi peradaban masa depan di bawah kepemimpinan ulama. Itulah sebabnya, sejak awal standar ulama ini sangat dipentingkan dan kalau kita lihat sekarang benang hijau dari Nahdlatul Ulama ini adalah bahwa ulama adalah pemimpin terdepan dari perjuangannya. Ini yang tidak pernah lewat, jadi partai ya nurutnya sama ulama, tidak jadi partai ya nurutnya sama ulama, dukung Bung Karno ya karena nurut sama ulama, dukung reformasi ya karena nurut ulama. Ini Nahdlatul Ulama, tidak berubah sampai sekarang, ulama didudukkan dalam posisi sebagai kepemimpinan peradaban.

Baca Juga: Tujuannya Mayit

Walaupun realitas Nahdlatul Ulama sendiri berubah-ubah, yang tadinya organisasi yang sangat eksklusif, hanya kiai beneran saja yang boleh jadi anggota, lalu jadi partai politik, menjadi organisasi massal, siapa saja yang mau menyoblos gambar jagad dianggap NU.

Tadinya yang dianggap pantas ngaku NU ini cuma santri-santri, sekarang ini, semua orang dari segala macam bisa ngaku NU, semua saja dan kita tidak bisa menghalangi. Karena orang-orang ini kalau dituduh tidak NU ya pasti ngamuk karena dirinya beneran merasa NU. Kalau dulu orang-orang NU tempatnya di pesantren, masjid, langgar, sekarang itu di terminal dan pasar itu penuh dengan orang NU. Makanya saya bilang, jangan-jangan banyak juga copet-copet yang merasa NU, karena sudah begitu meluasnya konstituen Nahdlatul Ulama. Tapi ada satu yang konsisten yaitu bahwa di dalam semua keadaan itu, ulama tetap ditempatkan di dalam maqam kepemimpinan.  

Jadi sebetulnya saya senang sekali Pak Mardiono tadi bilang minta arahan ulama tapi asal beneran ya. Karena ini terkait dengan point kedua yang ingin saya sampaikan, kalau tadi kita perlu memahami benang hijau dari sejarah Nahdlatul Ulama itu.

Nasionalis karena Islam

Selanjutnya, kedua, kita perlu memahami kalau kita mau berbicara tentang bagaimana memperjuangkan Islam karena yang kita lakukan semua ini demi Islam.

Maka saya tidak suka istilah nasionalis-religus, saya tidak suka, karena kami menjadi nasionalis karena Islam dengan niat Islam dengan motivasi Islam karena Islam kami nasionalis. Jadi tidak tepat kalau ada dikotomi-dikotomi semacam itu karena yang kita lakukan semua ini demi Islam.

Nah sekarang yang paling penting kita pahami adalah kalau kita hendak memperjuangkan Islam kita harus cerdas di dalam memilih membangun konstruksi kendaraan perjuangan itu sendiri. Islam itu memilih Indonesia sudah sejak awal, bahkan kita temukan, atsar, jejak-jejak Islam sejak generasi awal para sahabat, sejak zaman Khulafaur Rasyidin itu sudah ada.

Baca Juga: Rekontekstualisasi Ajaran Islam untuk Tatatan Dunia Baru

Ada makam muslim yang tahunnya sekitar abad 8-Masehi, awal sekali. Tapi Islam baru berkembang secara masif dan mengubah warna peradaban nusantara ini pada awal abad ke-16 Masehi di bawah perjuangan para tokoh yang sekarang kita kenal sebagai Walisongo. Mereka itu yang dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun mengubah sama sekali warna peradaban nusantara ini menjadi warna Islam, merata di seluruh nusantara.

Dengan cara apa mereka melakukan itu? Mereka melakukan itu dengan cara memanfaatkan konstruksi-konstruksi tradisi masyarakat yang paling dikenal, paling diikuti oleh masyarakat sebagai kendaraan untuk membawa nilai-nilai Islam. Kadang-kadang mereka malah tidak menyebut bahwa itu Islam, Walisongo itu tidak pernah menyebut apa yang mereka ajarkan itu sebagai Islam tapi mereka mengajarkan nilai-nilai dari Islam.

Singkat kata, pada era kita bergulat hari-hari ini, kita sebetulnya membutuhkan satu kecerdasan untuk menemukan kendaraan baru, ini bukan soal kendaraan partai atau bukan partai, tetapi strategi perjuangan yang baru. Kalau dulu para wali itu menggunakan kendaraan tradisi dan seni budaya masyarakat untuk menyebarkan nilai-nilai Islam. Hari-hari ini kita juga harus bisa menemukan kendaraan-kendaraan seperti yang dulu dipakai oleh para wali itu untuk membawakan nilai-nilai Islam walaupun tidak harus menyebut Islam.

Hari-hari ini dunia ini sebetulnya gelisah, bukan hanya dunia Islam saja tetapi seluruh dunia karena dinamika pergulatan antara dunia Islam dengan dunia lainnya juga luar biasa menegangkan hari-hari ini. Orang gelisah tentang apa sebetulnya fungsi yang tepat bagi Islam di dalam konteks peradaban kita hari ini. Maka kita harus bisa menemukan, dengan cara apa sebetulnya Islam ini harus diperjuangkan supaya lebih kuat pengaruhnya di dalam masyarakat. Kalau kita bandingkan misalnya pada zaman Demak, kekuatan pengaruh Islam tidak sekuat pada zaman Mataram Islam karena Demak cenderung formalistik sedangkan Mataram lebih menggunakan tradisi-tradisi lokal sebagai kendaraan.

Nah sekarang kita harus melihat apa yang bisa diterima secara lebih luas oleh masyarakat. Saya sendiri sebetulnya berpikir bahwa Islam seharusnya ditawarkan dengan argumentasi-argumentasi universal, argumentasi-argumentasi yang diterima orang banyak walaupun tanpa harus menyebut Islam. 

Baca Juga: Saya Mohon Ampun

    Otoritas Ulama

    Kalau kita ingin menawarkan nilai Islam kita tawarkan dengan memberikan alasan-alasan yang universal, jadi tidak melulu harus dengan dalil-dalil, karena sebetulnya di dalam masyarakat kita ini, apalagi di lingkungan Nahdlatul Ulama bahkan di lingkungan yang lebih luas, ulama itu sebetulnya sudah mempunyai kedudukan otoritatif yang bisa menjadi dalil.

    Pada suatu kesempatan, ada halaqah di Sarang, kami meminta Kiai Maimoen Zubair Allahu Yarham untuk memberi pengarahan dan beliau mengatakan pada waktu itu dengan sorih sekali, beliau mengatakan bahwa “Indonesia ini wajib NKRI, tidak boleh dibikin yang lain”. Habis itu saya bicara dan saya katakan kalau yang dawuh seperti itu Kiai Maimoen Zubair orang apalagi kok menyangga nanya dalilnya saja sudah su’uladab karena Kiai Maimoen itu sudah nafsuddalil. Jadi kalau dulu Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak usah nanya dalilnya, ya itu dalilnya Kiai Hasyim, karena kedudukan otoritas para ulama ini.

    Maka sebetulnya ulama-ulama kita ini bisa menawarkan nilai-nilai Islam ini tanpa harus membuat alasan-alasan simbolis Islam itu sendiri tapi bisa menawarkannya dalam kemasan yang universal. Apalagi partai yang tugasnya ikut serta dalam membuat regulasi-regulasi, melakukan fungsi legislasi di dalam politik, kita harus ingat bahwa regulasi-regulasi, aturan-aturan, undang-undang ini tidak boleh tidak imparsial, harus imparsial.

    Indonesia ini kalau ada undang-undang ya harus undang-undang yang diasumsikan membawakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, tidak boleh ada aturan yang mengasumsikan khusus untuk orang Cirebon saja tidak boleh. Tidak boleh ada undang-undang khusus NU saja tidak boleh. Undang-undang itu harus imparsial, kita harus berpikir bagaimana kita bisa mengkontribusikan nilai-nilai Islam di dalam aturan-aturan yang imparsial itu.

    Kalau sekarang, di California, Amerika Serikat ada aturan melarang atau mengharamkan menjual minuman soft drink dengan gelas 1 liter. Kalau aturan begitu saja boleh, kenapa aturan pembatasan minuman keras misalnya tidak boleh. Saya kira wajar saja kalau kita memperjuangkan adanya aturan pembatasan peredaran minuman keras. Tapi aturan ini harus kita asumsikan sebagai aturan yang imparsial yang memenuhi kepentingan semua orang.

    Baca Juga:

    Jalan Baru PPP

    Maka argumentasinya kalau PPP memperjuangkan aturan seperti ini argumentasinya harus universal. Kalau kita tidak universal kita membatasi jangkauan dari sasaran dakwah atau sasaran perjuangan itu sendiri, apalagi PPP di tengah keadaan dunia dan keadaan Indonesia yang berubah ini, PPP harus menemukan jalur baru bagi pengembangan masa depan ini.

    Waktu saya diundang untuk Harlah PPP di Malang, tagline-nya itu “Jalan Pulang Ke Ka’bah”. Saya bilang kepada teman-teman, “Ini kok jalan pulang ke Ka’bah itu yang disuruh pulang siapa?”. Orang PPP yang dulu keluar masuk partai lain sekarang sudah hampir semuanya sudah meninggal sudah tidak bisa pulang lagi. Saya bilang yang harus ditemukan sekarang adalah tagline yang bisa mengajak konstiuensi baru, maka PPP harus ingat dan memperhatikan bukan hanya rebutan warga NU untuk menyoblos PPP, karena kepentingan Ke-NU-an ini sebetulnya tidak terlalu konkret, cenderung sangat abstrak. PPP harus lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan yang lebih konkret di tengah masyarakat ini.

    Misalnya, harus diperhatikan bahwa sekarang ini, generasi milenial dan generasi Z ini mendominasi demografi masyarakat lebih dari 50%, PPP harus tahu dong apa yang menjadi kepentingan mereka karena sebagian besar pemilih itu dari kalangan mereka. Nah, dengan cara itu, saya kira, PPP akan punya masa depan yang lebih bisa diharapkan. Kita tahu bahwa PPP ini masih hidup sampai sekarang di tengah-tengah dinamika yang luar biasa yang sudah dilewati selama ini, ya mudah-mudahan ini adalah tanda bahwa PPP ada manfaatnya. Sebagaimana firman Allah Swt wa amma man yanfa’un naasa fayamkutsu fil ardh, semoga PPP ini benar-benar nafi’ linnas sehingga sungguh-sungguh yamkutsu fil ardh. Insya Allah.

    *Pidato KH Yahya Cholil Staquf dalam Ngaji Budaya Abad Kedua Nahdlatul Ulama, TMII, 16 Maret 2023.

    Related Articles

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Back to top button