Apakah Fatwa Perlu Diikuti?
Ada persepsi bahwa fatwa itu adalah sesuatu yang wajib, harus diikuti. Sehingga sangking wajibnya sampai diperlukan adanya gerakan pembela fatwa.
GUSYAHYA.ID – Sebetulnya order saya ke RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) ini untuk menyelenggarakan satu halaqah yang secara konseptual lebih umum yaitu menyangkut bagaimana kita mengoperasikan fiqih di dalam konteks realitas kita hari ini.
Sebetulnya tidak spesifik membahas fatwa MUI, walaupun terus terang memang pemicunya itu. Kenapa memicu? Karena ini menimbulkan diskusi yang kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat krusial untuk dijawab.
Lalu thabi’ah fiqhiyyah-nya itu bagaimana? Dan ini kemudian meluas terkait dengan bagaimana kita mengoperasikan fiqih di dalam meng-address masalah-masalah yang kita hadapi hari ini, ketika dunia sudah berubah menjadi yang sedemikian kompleks, konstruksinya baru dan unprecedented dan tidak ada preseden sebelumnya lalu bagaimana kita mengoperasikan fiqih.
Nah ini penting untuk kita pahami dengan sungguh-sungguh karena warisan yang paling berharga dari umat Islam sesungguhnya adalah fiqih. Kalau tidak ada fiqih, umat tidak akan bisa berbuat apa-apa, melihat atau menghadapi berbagai macam waqa’i (konteks aktual), yang belum pernah ada sebelumnya.
Baca Juga
Kalau bukan ulama ya tidak paham, karena memang harusnya ulama yang membahas hal tersebut dalam halaqah ini. Karena kalau persepsi awam mengenai hal ini bisa tidak sesuai dengan apa yang semestinya.
Misalnya sekarang persepsi awam tentang syariah. Awam itu pada umumnya memandang syariah itu sebagai sesuatu yang fix, yang sudah rinci dan lengkap, tidak bisa berubah sama sekali. Hal ini menimbulkan berbagai macam kesalahpahaman yang berantai termasuk kesalahpahaman tentang fatwa ini. Ada persepsi bahwa fatwa itu adalah sesuatu yang wajib, harus diikuti. Sehingga sangking wajibnya sampai diperlukan adanya gerakan pembela fatwa.
Menurut saya, fenomena ini merupakan tanggung jawab ulama untuk membuat klarifikasi-klarifikasi. Syariat itu apa? Fiqih itu apa?
Syariat itu sebetulnya adalah keseluruhan wawasan konseptual dari nilai-nilai fundamental agama. Kemudian dirumuskan oleh para ulama di samping berupa tafsir tentang nushush, baik Al-Qur’an maupun sunah juga rumusan-rumusan teoritis seperti ushul fiqh, qowaid, dan maqasid dan lain-lain. Ini rumusan-rumusan untuk menggambarkan syariat itu seperti apa.
Baca Juga Anak-Anak Peradaban
Hal yang perlu diperhatikan kemudian adalah klarifikasi kepada awam bahwa syariat itu ada yang tauqifi dan ada yang ijtihadi. Nah yang fix itu yang tauqifi yang memang apa dari sono yang sudah ditetapkan. Tapi ada yang ijtihadi, yang harus dicerna dengan ijtihad yang metodologinya sudah dibuat oleh para ulama.
Dalam hal ini misalnya ada kontroversi-kontroversi bahwa ushul atau metodologi ijtihad itu tidak diterima atau paling tidak, tidak disukai oleh sebagian kelompok Islam atau sebagian gerakan-gerakan Islam yang ada.
Misalnya ada artikulasi “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah”. Ini sebetulnya dengan kata lain menolak ushul, maunya langsung kepada teks Al-Qur’an dan Hadis, maunya menolak apa yang sudah diteorikan oleh para ulama.
Tapi ini semua harus diklarifikasi kepada umat. Supaya umat ketika diajak untuk mengikuti agama sungguh-sungguh diajak untuk mengikuti hidayah bukan diajak untuk melakukan konsolidasi politik.
Baca Juga Pesan Mbah Syahid
Seringkali karena ada kepentingan-kepentingan politik, artikulasi-artikulasi keagamaan, termasuk pengatasnamaan hal-hal yang sebetulnya sifatnya fiqhiyah sebagai alat, sebagai senjata untuk konsolidasi politik. Hal ini kalau tidak segera dibereskan akan menjadi masalah yang berkepanjangan.
Ada beberapa isu fundamental yang relevan dengan perubahan konstruksi sosial, politik dan budaya yang kita alami dewasa ini. Sekarang ini kita hidup di tengah suatu konstruksi masyarakat yang sama sekali berbeda dengan konstruksi masyarakat ketika keseluruhan, korpus fiqih yang ukurannya raksasa itu mencapai puncak perkembangannya.
Perbedaan konstruksi sosial itu sebetulnya menuntut pendekatan yang juga berbeda seharusnya secara fiqih. Kalau pendekatannya masih menggunakan pendekatan sebagaimana konstruksi yang ada di masa lalu, kesimpulan-kesimpulan fiqihnya itu juga bisa salah arah atau tidak kompatibel dengan realitas yang ada. Hal seperti ini dari sisi metodologis harus dimulai sejak dari cara kita mengidentifikasi masalah yang hendak di-address.
Di dalam pengalaman Bahtsul Masail di PBNU hal tersebut terjadi beberapa kali. Salah satu yang menurut saya cukup fenomenal dan cukup krusial misalnya adalah Bahtsul Masail ketika Munas Alim Ulama di Lombok beberapa waktu yang lalu. Karena diagendakan pembahasan mengenai hasil keputusan MK yang menyatakan bahwa orang tua biologis itu wajib menafkahi anaknya atau bahwa walau anak zina itu harus diakui sebagai anak dari ayah biologisnya.
Baca Juga Menghormati Titik Tolak Pembangunan Peradaban
Waktu itu ada kasus seorang ibu yang menuntut nafkah dari seorang bapak untuk anaknya dengan klaim bahwa ini adalah anak si bapak. Walaupun tidak ada bukti pernikahan yang sah. Itupun sebetulnya kita tidak tahu apakah tidak ada bukti pernikahan itu berarti tidak menikah secara sah atau menikah secara sah tapi tidak dicatat. Contoh seperti Ini kira-kira seperti nasab Ba’alawi itu, yang kaidahnya sudah ditekankan oleh KH Afifuddin Muhajir, ‘adamul wujdan laa yadullu dalian ala adamil wujud., tidak ada bukti pernikahan yang sah. Lalu menuntut nafkah dan MK menyatakan wajib dinafkahi karena walaupun tidak ada bukti yang sah, karena terbukti bahwa ini anak biologis, maka wajib bapaknya memberikan nafkah.
Kasus ini dibawa ke Bahtsul Masail di Lombok. Sebelum Bahtsul Masail dimulai sudah ada “gemrenggeng” diantara para kiai, bahwa “Ini keputusan MK tidak sesuai dengan fiqih Islam”. Kenapa? Karena nasab itu dasarnya adalah akad. Kalau tidak ada akad ya tidak bisa intisab. Kalau tidak ada intisab tidak ada kewajiban nafaqah”.
Sehingga kemudian diam-diam muncul semangat untuk menentang keputusan MK. Masya Allah, ini sebetulnya tidak terbuka semangat ini, rasan-rasannya kiai ini tidak terbuka, tapi sudah cukup untuk membuat Abahnya Gus Ghofur (KH Maimoen Zubair) khawatir. Sehingga beliau memerlukan untuk datang sendiri ke Lombok dan menunggui Bahtsul Masail supaya tidak ada artikulasi yang kemudian bisa ditafsirkan menentang apalagi melawan pemerintah.
Baca Juga Menjawab Stigma Ihwal Kemelaratan NU
Jadi semangatnya itu menantang keputusan MK, bahwa keputusan MK ini tidak Islami. Kiai Maimoen bicara panjang lebar mengingatkan kiai-kiai untuk berhati-hati di dalam menyikapi persoalan ini agar jangan sampai memicu sesuatu yang tidak perlu.Pada waktu itu keputusannya tidak decisive, masih mengambang.
Lalu saya bicara dengan teman-teman di LBM waktu itu. Saya bilang, ini masalahnya gara-gara kalian salah bikin rumusan masalah. Rumusan masalahnya keliru karena dirumuskan dengan pertanyaan “Apakah keputusan MK itu sudah sesuai dengan fiqih Islam?” Itu rumusan yang salah. Rumusan yang seharusnya itu, “Bolehkah pemerintah mewajibkan Ayah biologis menafkahi anak zinanya? Kalau pemerintah mewajibkan apakah wajib menaatinya?
Kalau pertanyaannya begitu, jawabannya jelas. Kalau pemerintah boleh mewajibkan sesuatu yang mubah. Seperti yang dinyatakan dalam teorinya Al-Mawardi “walau lam yarid fi sunnati rasulillahi”, jadi pemerintah itu kalau menetapkan sesuatu yang mubah tidak usah nyari dalil. Seperti kewajiban berjalan di pinggir kiri itu kan tidak bakalan ada dalilnya. Meski boleh, walaupun sebetulnya mubah asal hukumnya. Kalau pemerintah sudah mewajibkan jadi wajib. Seperti mewajibkan orang pakai helm ketika naik motor itu kan sama. Makanya pertanyaannya harus begitu.
Nah ini banyak contohnya. Nanti akan ada banyak kalau diteliti lebih lanjut di dalam kitab-kitab, di dalam buku kumpulan hasil-hasil Bahtsul Masail Muktamar itu saja kalau kita baca terdapat kasus-kasus yang sebetulnya aneh atau jawabannya itu aneh karena pertanyaannya juga aneh.
Baca Juga ASEAN IIDC 2023: Kredibilitas Agama Harus Dipulihkan
Misalnya ada pertanyaan “Bagaimana hukumnya menyerahkan urusan negara kepada orang kafir?” Itu pernah ada. Terus jawabannya juga, tidak boleh katanya. Lah terus urusan negara itu apa-apa dikira cuma jadi Presiden gitu? Memangnya jadi Bupati itu bukan urusan negara? Jadi Carik, Lurah itu apa bukan urusan negara? Jadi tukang ketik di kantor pemerintah itu urusan negara bukan? Nah ini kan jadi kacau balau.
Kenapa? Karena pertama-tama menurut saya mindsetnya, cara berpikirnya itu masih mindset lama. Dengan kata lain bahwa realitas konstruksi sosial-politik yang kita miliki sekarang, negara-bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 45 itu belum masuk di kepala para orang-orang yang mengaku fuqaha itu! Belum masuk di dalam kepala mereka. Sehingga ketika mereka bertemu dengan persoalan seperti ini, mindset mereka itu masih mindset zaman Turki Usmani. Ini masalah besar buat kita.
Nah kemudian banyak masalah-masalah fiqih itu tidak dilihat hakikatnya dalam tashawwur tapi didasarkan pada klaim-klaim. Misalnya soal salam dianggap haram pakai salam macam-macam itu karena mencampuradukkan ibadah.
Kenapa? Karena ada klaim karena bahwa “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh itu adalah ibadah”. Maka diklaim yang lain-lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu? Tanya teman-teman Kristen, “Apakah Salam Sejahtera itu masuk dalam liturgi? Tidak ada liturgi itu. “Shalom”, tanya teman-teman Katolik apa Shalom itu masuk liturgi? Paus itu tidak pernah buka pidato pakai Shalom. Tidak pernah. Begitu juga yang lain
Baca Juga
Kemarin saya ajukan perbaikan pertanyaan “Apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan-ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antar umat beragama?”
Terus diklaim misalnya bahwa apa yang paling utama soal “Namo Budhaya” yang dianggap ibadah. Buddhisme itu tidak mengenal deity. Jadi tidak ada peribadatan dalam agama Buddha, yang ada meditasi. Karena tidak mengenal deity (ketuhanan).
Namo Buddhaya itu terpujilah Buddha. Buddha itu siapa? Buddha itu Sidharta Gautama yang tidak dipertuhankan oleh orang Buddha. Jangan dikira loh orang Buddha menyembah Buddha, enggak! Buddha ini cuma pemikir, katakanlah, soal dapat wahyu atau tidak, wallahu a’lam. Tapi pikiran-pikirannya kemudian dianggap sebagai panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau pencampur-adukkan Ibadah? Ibadah apa yang dia campur? Orang yang lain bukan ibadah.
Nah kenapa hal ini terjadi? Karena mindset para fuqoha itu, mindsetnya masih mindset Turki Usmani.