GUSYAHYA.ID – Kita semua bertanggung jawab untuk mengupayakan format hubungan yang lebih sehat di antara berbagai golongan yang berbeda, termasuk agama.
Soal singgung-menyinggung, semua pihak berhak tersinggung manakala keyakinan atau kepentingannya diselisihi.
Dari dulu, seandainya semua khotbah-khotbah pendeta di geraja-gereja dan kegiatan-kegiatan keagamaan non-Islam lainnya divideokan dan dipublikasikan, pasti banyak yang berpotensi menyinggung perasaan umat Islam.
Begitu juga sebaliknya—bahkan mungkin lebih banyak—dari pihak Islam terhadap umat lainnya.
Baca Juga
Tidak kalah seringnya, ucapan-ucapan tokoh Muslim yang bukan pemimpin agama di ruang-ruang publik isinya menyinggung perasaan non-Muslim.
Bahkan tak sedikit kebijakan-kebijakan sepihak dari pejabat-pejabat muslim yang mendiskriminasi non-Muslim secara tidak adil, seperti keputusan seorang Wali Kota Tanjung Balai menurunkan patung Buddha di sebuah vihara.
Jadi, soal tersinggung boleh saja. Masalahnya, apa tindakan yang dilakukan kemudian atas nama ketersinggungan itu?
Sesuai hukumkah? Mendorong kemaslahatan bersama atau malah mendorong kerusakan?
Baca Juga
Apalagi soal Ahok itu ada urusan balas-membalas agitasi politi, ada perdebatan soal koridor konstitusi, ada tunggang-menunggang, ada kontestasi kepentingan ekonomi yang tidak seimbang, dan lain-lain, yang secara keseluruhan menciptakan kerumitan yang tidak gampang dicerna oleh publik.
Maka saya sangat berharap bahwa para pemimpin, baik agama maupun politik, mendorong masyarakat untuk bersikap tenang, kemudian membangun wacana konstruktif untuk mengurai kerumitan masalah itu.
Sehingga public dapat terlibat dalam dialog secara lebih cerdas. Itu kalau mereka memang pemimpin-pemimpin yang bertanggung-jawab. Bahwa ada saja pemimpin yang sangat tidak bertanggung jawab, kita semua wajib mendidik masyarakat agar menjauhi pemimpin semacam itu. Siapapun dia.
2016
