Tidak Cukup Jadikan NU sebagai Organisasi Canggih
GUSYAHYA.ID – Kita tidak bisa lagi, Nahdlatul Ulama ini, berpikir bagaimana menjadikan NU berpikir sebagai organisasi yang canggih saja, itu tidak cukup.
Ada saatnya, dulu, Nahdlatul Ulama itu berkepentingan untuk menegaskan kekhususan-kekhususannya sendiri yang membedakannya dengan yang lain.
Dulu, pada awal keberadaannya, sampai dengan awal tahun 50-an, tidak mudah orang menjadi anggota Nahdlatul Ulama, sulit sekali. Karena untuk diterima menjadi anggota ini harus sungguh-sungguh orang yang punya kualifikasi ulama yang tidak diragukan, dengan control standard yang sungguh-sungguh sehingga susah.
Dulu itu untuk menjadi anggota Nahdlatul Ulama pertama-tama harus diteliti sejauh mana pengetahuan ilmunya, karena harus ulama beneran, namanya organisasi Nahdlatul Ulama. Dan harus dikurasi selama beberapa bulan oleh kiai-kiai yang sudah menjadi anggota sebelum dikatakan pantas untuk menjadi anggota Nahdlatul Ulama.
Sehingga pada tahun 50-an NU tidak bisa berkembang cukup besar karena sulitnya menjadi anggota, walaupun sudah berusaha menyelenggarakan kegiatan di berbagai daerah, termasuk di Sumatra Utara ini. Dulu sudah pernah ada Muktamar di Medan ini, Banjarmasin, Makassar dan lain sebagainya tapi tetap saja NU tidak bisa berkembang karena susah menjadi anggota.
Karena, pada waktu itu, Nahdlatul Ulama berkepentingan untuk menegaskan cirinya sendiri yang berbeda dari yang lain. Itulah sebabnya misalnya Kiai NU pada waktu itu merasa perlu untuk membuat ciri khas kalimat yang digunakan untuk mengakhiri pidato.
Baca Juga Tahun yang Tidak Masuk Akal
Dulu itu Kiai Ahmad Abdul Hamid Kendal, pada mulanya menciptakan kalimat khusus. Jadi kalau orang NU mengakhiri pidato jadi harus diakhiri kalimat khas itu. Tadinya mau dipakai kalimat wa billahi taufiq wal hidayah. Tapi kalimat ini sudah menjadi populer sekali, sampai-sampai yang Muhammadiyah ikut-ikutan memakai. Sehingga sudah tidak kelihatan lagi sebagai ciri khas NU.
Nah, karena kebutuhan atau kepentingan membuat ciri khas ini, sampai-sampai kemudian diciptakan kalimat baru, wallahul muwwafiq ila aqwamith thariiq, ini kalimat yang jelas jauh lebih sulit kalau tidak ngaji tajwid susah ini, harus ngaji tajwid, nahwu-shorof baru paham ini. Wallahul muwwafiq ila aqwamith thariiq, ini Pengurus NU yang kurang ngaji saja sudah tidak fasih itu, padahal itu berubah dikit sudah beda maknanya. Ada yang wallahul muwaafiq ila aqwaamith thaariq, kalau bacanya begitu menjadi “Allah itu setuju dengan kaum-kaum jalanan”. Jadi memang sulit, karena itu merupakan kebutuhan untuk membuat ciri khas sendiri.
Canggih Saja Tidak Cukup
Tetapi kita tahu Bapak/Ibu sekalian, perkembangan sejarah pada kenyataannya sedemikian rupa justru membuat Nahdlatul Ulama berkembang begitu meluas. Pada tahun 55 adalah titik awal berkembang luasnya NU ketika NU menjadi partai politik. NU mendapatkan 18% di dalam Pemilu 55.
Nah sekarang ini, dari berbagai lembaga survei yang ada, menyatakan bahwa lebih 50% penduduk muslim Indonesia ini mengaku sebagai warga NU, lebih dari 50%, besar sekali. Ya kita bisa membuat analisis mengapa NU cenderung meluas konstituensinya semacam ini. Tetapi yang jelas kenyataannya konstituensi NU itu begitu luas, sehingga saya kira, sudah cukup NU ini menegaskan ciri khasnya dan tidak perlu lagi terlalu ngotot membeda-bedakan diri dengan kelompok lainnya karena kenyataannya semua menerima NU.
Dulu itu kalau tidak nyantri di pesantren dan kemudian kuliah ikut PMII nah itu sudah dianggap NU, HMI saja kurang dianggap NU. Tapi sekarang kita lihat ada yang ngajinya cuma di langgar terus kuliah ikut GMNI, NU juga Mas Pratikno ini. Jadi sudahlah kita tidak perlu terlalu ngotot lagi.
Baca Juga Tujuannya Mayit
Makanya saya bilang NU ini isinya sudah macam-macam, tidak bisa kita anggap atau kita haruskan yang boleh merasa NU hanya orang yang ngaji saja, banyak juga yang, ya ndak terlalu ngaji, ya merasa NU, mau dibilang apa? Kalau dikatakan bukan NU ya ndak mau, ndak terima, pokoknya NU, bisa ngaji nda? Nggak. Tidak apa-apa, sekarangpun banyak juga copet yang merasa NU itu.
Nah ini, berarti di dalam persepsi saya, NU ini sudah berkembang bukan hanya sebagai satu organisasi yang terbatas saja, bukan sebagai komunitas yang terbatas saja, tapi NU itu berkembang menjadi format peradaban yang diterima secara luas. Ini Rahmat yang luar biasa dan ini tidak boleh kita sia-siakan.
Maka, Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati, kita perlu berpikir tentang bagaimana kita hendak membangun perabadan bagi masa depan. Kita tidak bisa lagi, Nahdlatul Ulama ini, berpikir bagaimana menjadikan NU berpikir sebagai organisasi yang canggih saja, itu tidak cukup. Karena kalau hanya berpikir seperti itu, ini yang akan menerima maslahat hanya Pak Ainun Naim, Pak Pratikno, Pak Saifullah Yusuf dan lain-lain. Sementara mereka, masa rakyat yang luas, masyarakat di mana-mana yang juga merasa NU akan terlalu lama menunggu untuk mendapatkan maslahat dari pergulatan Nahdlatul Ulama.
Maka agar jangkauan dari pergulatan ini luas, kita harus berpikir tentang bagaimana membangun format peradaban, dalam arti, menyumbangkan sesuatu yang maslahat bagi terbentuknya format peradaban yang lebih baik di masa depan.
Bapak/Ibu yang saya muliakan, pada satu kesempatan, di dalam satu pertemuan di luar negeri, di Washington DC sekitar tahun 2012-2013 pada awal-awal saya keluyuran untuk melaksanakan tugas dari Rais Aam KH Sahal Mahfudh. Seorang bertanya pada saya, saya kira mereka dari kalangan ya mungkin bukan Islamophob tapi sekurang-kurangnya holocaust. Ketika saya berbicara perdamaian, toleransi, dan kemanusiaan, dia memberi saya pertanyaan yang mungkin dia pikir akan memojokkan dan membongkar kedok saya seandainya saya tidak jujur dalam menyampaikan wawasan ke-NU-an yang saya tawarkan.
Baca Juga Rekontekstualisasi Ajaran Islam untuk Tatatan Dunia Baru
Dia bertanya, “Kalian, Nahdlatul Ulama ini, adalah organisasi muslim terbesar di negara mayoritas muslim terbesar di dunia, kenapa kalian tidak mau Negara Islam?”. Padahal kalau jadi Negara Islam, kira-kira yang paling untung itu NU karena ini organisasi Islam terbesar.
Nah waktu itu saya katakan, dulu itu ketika para pemimpin bangsa Indonesia ini berembug untuk menetapkan sendi-sendi fondasional dari negara-bangsa yang hendak didirikan, saya cerita PPKI dan BPUPKI, berkumpul para pemimpin bangsa dari latar belakang yang berbeda sama sekali dari ujung ke ujung, dari spekturm yang sangat luas, mulai dari latar belakang Islamisme sampai komunisme, mulai dari latar belakang tradisionalisme sampai liberalisme barat, dari spekturm ideologi maupun identitas keagamaan yang berbeda-beda, semuanya ada.
Semua agama besar ada dan mereka harus berpikir untuk menemukan satu landasan yang bisa diterima bersama supaya mereka bisa hidup bersama dengan damai di tengah-tengah perbedaan apapun di antara mereka. Maka kemudian, yang mereka lakukan adalah, mereka mengambil elemen-elemen yang paling mulia dari latar belakang mereka masing-masing, yang muslim menyumbangkan elemen paling mulia dari Islam, yang Kristen, Hindu, Budha, Katholik, yang lain-lain juga sama. Yang tradisionalis, yang liberal juga menyumbangkan elemen-elemen yang paling mulia yang dikenal dari latar belakang masing-masing sehingga jadilah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itu adalah kesepakatan yang sudah dibuat sejak sebelum Indonesia merdeka.
Nah, lebih lanjut, dalam berbagai forum yang saya ikuti dengan berbagai macam topik dan agenda, saya lalu berpikir dan menawarkan kepada berbagai pihak, kenapa kita tidak melakukan hal yang sama? Sekarang ini kita hidup di tengah peradaban global yang luar biasa heterogen, kenapa sekarang kita tidak berpikir dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh bapak-bapak pendiri bangsa Indonesia, yaitu berpikir tentang apa yang mulia untuk masa depan kita bersama.
Kenapa kita tidak berpikir ketika kita bicara tentang ekonomi, kenapa kita tidak berpikir ekonomi yang mulia dan bukan sekedar bagaimana memperbesar akumulasi-akumulasi sumber daya ekonomi saja, tapi berpikir tentang format ekonomi yang mulia. Ketika kita berbicara tentang politik, melakukan pergulatan politik, kenapa kita tidak kemudian berusaha untuk jangan sekedar bicara tentang persaingan kekuasaan tapi berpikir tentang format politik yang mulia.
Baca Juga Saya Mohon Ampun
Ilmu Pengetahuan untuk Mencapai Kemuliaan
Maka pada kesempatan yang mulia ini, Bapak/Ibu sekalian, kalau Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) membuat tema Rakernas ini, “Merawat Jagad Membangun Peradaban dengan Ilmu Pengetahuan”, saya ingin mengajak Bapak/Ibu sekalian dan LPTNU untuk berpikir tentang ilmu pengetahuan untuk mencapai kemuliaan.
Kita tidak bisa hanya berpikir tentang ilmu pengetahuan, hanya untuk meningkatkan kemampuan untuk bersaing di dalam perebutan sumber daya-sumber daya. Kita punya mandat untuk berjuang agar ilmu pengetahuan yang kita miliki kita kembangkan untuk kita sumbangkan bagi upaya mencapai kemuliaan bagi masa depan umat manusia.
Karena ini adalah mandat kita sebagaimana dimandatkan oleh Baginda Muhammad Saw, innamal buitstu liutammima makarimal akhlaq, dan itu berarti makarimul akhlaq itu bukan hanya milik Islam saja, karena mandat Rasulullah itu mandat itmam, bukan mandat untuk menawarkan sesuatu yang sama sekali baru, menggantikan yang lama. Itu berarti sebelum Islam di sana sudah ada makarimul akhlaq, dan Islam hanya berkontribusi untuk lebih menyempurnakan makarimul akhlaq itu dan membangun kemuliaan bersama bagi masa depan bersama, ya bersama-sama dengan elemen-elemen lain di tengah peradaban umat manusia ini.
Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati, Saya kira ini adalah visi yang layak untuk dikembangkan atas nama Nahdlatul Ulama karena kalau tidak seperti ini, kita tidak punya atsar (pengaruh) yang konstruktif untuk kita sumbangkan bagi pergulatan masa depan bersama. Karena ini adalah Nahdlatul Ulama, apapun juga ini adalah organisasi yang mengikuti ajaran-ajaran ulama, maka satu-satunya yang layak untuk diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama ini adalah kemuliaan untuk masa depan umat manusia.
Baca Juga Selamat Datang di Abad Kedua Nahdlatul Ulama
Saya ucapkan selamat bermusyawarah kepada para hadirin Rakernas LPTNU semua. Saya yakin semua yang datang dalam Rakernas ini dengan semangat yang baru, dengan semangat yang menggebu-gebu, karena saya lihat sampai hari ini semua orang masih belum move on dari peringatan Harlah 1 Abad, masih keranjingan 1 Abad NU, dan mudah-mudahan keranjingan terus sampai abad berikutnya.
Melihat dari kemarin, dari waktu- ke waktu, banyak sekali gagasan-gagasan yang luar biasa, di antara benak para pemikir, para cendekiawan NU ini, mudah-mudahan Rakernas ini bisa menghasilkan hal-hal yang bukan hanya indah dalam konsep tetapi suatu rencana yang konkret yang sungguh-sungguh bisa kita kerjakan dan bisa kita ukur hasilnya menuju perbaikan.
Kita sudah punya sekian banyak lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang pertama-tama kita butuhkan sekarang adalah mengkonsolidasikan lembaga-lembaga yang ada itu menjadi suatu sistem sehingga bisa bergulat sebagai kekuatan bersama dalam akumulasi kekuatan bersama untuk mencapai sasaran-sasaran yang lebih strategis.
Medan, Sambutan pada Rakernas LPTNU, Rabu 08 Maret 2023.
3 Comments