Ide

Lesbumi: Menolak Rekayasa Budaya

GUSYAHYA.ID – Alhamdulillah selamat ulang tahun ke-63 untuk Lesbumi ini berkah bahwa sudah mencapai usia 63 walaupun masih tetap digunggung oleh kebingungan berlapis-lapis. Karena keberadaan Lesbumi ini memang dilingkupi dengan kebingungan oleh kebingungan yang berlapis-lapis. Definisinya sendiri sudah membingungkan. Sampai-sampai ya bahkan pada waktu itu para pimpinan NU harus berpikir keras untuk mencari, menemukan nomenklatur yang tepat tentang lembaga ini.

Maka kemudian dipakai nama yang sebetulnya sangat longgar Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia. Jadi yang dikerangkai dengan Lesbumi ini adalah orang-orang bukan gagasan. Yaitu orang-orang yang beragama Islam yang bekerja di lingkungan kegiatan-kegiatan budaya dan seni. Karena kalau disuruh merumuskan tentang apa itu misalnya, kalau diberi nama “Seni Budaya Islam” misalnya ada tuntutan untuk mendefinisikan apa yang dimaksud seni budaya Islam dan itu pasti membingungkan sekali untuk sebuah orang. Sampai sekarang saja masih terlalu banyak orang yang bingung Islam itu apa?

Nah ini lapis pertama dan yang paling dalam dari kebingungan sebelumnya yang mungkin hanya bisa kita pahami sedikit dengan melihat pada latar belakang dan kepentingan didirikannya Lesbumi itu sendiri. Lesbumi itu sebetulnya, boleh dikata didirikan sebagai, dibentuk sebagai instrumen politik dari partai Nahdlatul Ulama (Partai NU) membentuk Lesbumi sebagai instrumen. Apa kepentingannya? Ini sebagai respon tanggapan terhadap apa yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi saingan Partai NU waktu itu yang membentuk instrumen yang di kemudian hari disebut Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

Baca Juga

Ini sama dengan macam-macam banom yang didirikan oleh NU. NU membuat PMII, Pak Mahbub Djunaidi yang sudah jadi salah seorang pimpinan HMI kemudian mendirikan PMII karena HMI ini sudah jadi bagian dari Masyumi. Kemudian PKI punya CGMI. Nah NU ini harus dibuatkan instrumen untuk memobilisasi mahasiswa-mahasiswa ini sehingga dibentuk PMII.

Maka pada dasarnya alasan didirikannya Lesbumi itu adalah alasan pertarungan politik, kebutuhan untuk kampanye. Nah maka di satu sisi ada kesadaran untuk mengadopsi wahana-wahana dan metode-metode yang baru yang populer di kalangan masyarakat untuk kampanye politik itu, yang pada waktu itu mulai diperkenalkan dan dengan cepat menjadi populer yaitu media-media seni modern. Baik itu dalam bentuk seni musik maupun film maka bukan kebetulan kalau kemudian Pak Usmar Ismail bersama Jamaluddin Malik dan Asrul Sani yang diberi mandat untuk membentuk Lesbumi ini karena mereka adalah tokoh-tokoh yang populer sekali di dalam berbagai wahana seni modern waktu itu.

Kebutuhannya ya supaya partai NU ini bisa berkampanye secara efektif melalui media-media seni modern itu. Tapi dalam perkembangan selanjutnya kita tahu bahwa NU kemudian mengundurkan diri dari politik praktis nah di situ muncul lapis kebingungan yang kedua. Kalau tadinya Lesbumi ini instrumen kampanye politik kalau NU sudah bukan partai politik, lalu Lesbumi ini disuruh ngapain?

Nah sampai hari ini sebetulnya ya masalah-masalah ya memang terus menjadi bahan pencarian oleh tokoh-tokoh yang mengaku sebagai budayawan di lingkungan NU ini, budayawan beneran atau ndak, ndak tahu saya, mengakunya sih budayawan. Tokoh-tokoh yang sukanya berpikir kayak Pak Jadul ini yang terlalu banyak berpikir sampai bikin judul aja mikirnya mbulet ndak karu-karuan sampai ketemu Pancer itu apa? Ini masih sampai sekarang nggak terpecahkan dan saya tidak tahu apakah mungkin bisa dipecahkan. Karena budaya ini memang konsep yang sangat abstrak. Saya pernah kuliah sosiologi dan di dalam diskursus Sosiologi Budaya itu agak kacau, definisinya itu, tidak ada yang jelas. Dan saya kira kalau kita mau tarik sebagai, katakanlah “visi ideologis dari Lesbumi” kenapa didirikan pada waktu itu? Kalau mau diklaim karena saya yakin ada latar belakang. 

Baca Juga Zaman Baru, NU, dan Republika

Pemikiran ini di kalangan para tokoh Lesbumi pada waktu itu ialah menolak agenda kebudayaan komunis yang mengandaikan bahwa budaya bisa diengineer menurut arah yang dimaksud. Kita tahu bahwa diantara obsesi dari kaum Marxis dan Komunis adalah untuk membentuk budaya masyarakat sesuai yang dikehendaki yang dianggap kompatibel dengan paradigma Komunis atau Marxis. Itu dilakukan dimana-mana. Di Cina, Mao Zedong pernah melancarkan apa yang disebut “Revolusi Kebudayaan” dengan sangat keras-kejam sehingga salah satu sumber menyebutkan korbannya ada lebih dari  70 juta orang. Tapi kalau di Cina ya tidak kerasa, orangnya 1 miliar lebih.

Itu juga yang kemudian dilakukan oleh Khmer Merah di Kamboja itu yang membunuh, menghabisi semua yang sudah pernah bersinggungan dengan apa yang dianggap sebagai produk budaya Barat yang pernah sekolah di sekolah Barat semuanya dihabisi, intelektual-intelektual Barat semua dihabisi. Dan itu semua agenda yang ada di dalam gen komunisme. Semua gerakan komunis akan berpikir dan itu yang dilihat oleh para tokoh budaya kita terhadap agenda Lekra dan sudah diekspresikan dengan yang tadi diputar misalnya, salah satu contoh karya-karya seni dari seniman yang bukan anggota mereka dan seterusnya.

Saya kira kalau kita mau klaim visi ideologis dari Lesbumi ini adalah menolak rekayasa budaya yang dipaksakan saya kira itu. Nah tapi persoalannya kemudian kalau kita tidak mau merekayasa budaya kita terus mau apa dengan budaya ini? Sekarang misalnya, pada waktu itu sendiri, betul kata Cak Jum itu, bahwa Lesbumi itu modern-modern sedangkan NU yang lain masih ngga paham. Kan waktu itu sangat kontroversial sekali, baru Usmar Ismail jadi pendirinya saja sudah ribut kiai-kiai ini, “Masa NU mengkoordinir ketoprak!” katanya salah satu ungkapan. Dan waktu itu ada pembelaan-pembelaan juga yang dari kalangan kiai yang juga sebetulnya tidak bisa dikatakan ilmiah, sifatnya lebih akal-akalan dan itu keahlian NU memang akal-akalan. Diantara misalnya dengan mengatakan bahwa Lesbumi ini jika masuk gerbong rangkaian gerbong kereta apinya NU, walaupun gerbongnya paling belakang, tapi tetap NU. Nah coba saya khawatirnya nanti ada yang bikin Lescumi (Lembaga Copet Muslimin Indonesia) yang menjadi gerbong paling belakang sendiri.

Kontroversi itu masih berlanjut sampai sekarang. Waktu Gus Dur menjadi Ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) kemudian menjadi juri Festival Film Indonesia itu banyak kiai-kiai yang ribut, “Ketua Umum PBNU kok jadi juri ketoprak!”. Gus Dur jawabnya enak-enak saja, “Lho saya ini membawa pengaruh baik pada dunia perfilman karena para pekerja film tahu bahwa ketua dewan jurinya itu kiai, di film-film itu banyak disebut astaghfirullah, masyaallah itu banyak karena dewan jurinya kiai, itu kan bagus”.

Baca Juga Khidmah Lebaran Nahdlatul Ulama

Tapi kalau kita bawa ke hal yang lebih sifatnya lebih substansial dan konseptual ya saya khawatir ketemunya bingung lagi, bingung lagi. Sekarang kalau kita bicara soal budaya Indonesia Budaya Indonesia itu budaya yang mana? Apakah adat yang ada ini memang harus disuaka sedemikian rupa supaya tidak hilang. Padahal kita bisa memperkirakan bahwa sebelum apa yang sekarang kita anggap sebagai warisan adat atau seni budaya Indonesia itu sebetulnya dulu sudah menindih dan memusnahkan ekspresi-ekspresi seni adat yang ada sebelumnya hilang diganti yang ini yang ini terancam hilang juga terganti yang baru. Kita harus bagaimana memikirkan ini? Artinya kalau keadaan dunia seperti yang kita hadapi hari ini budaya yang kita warisi ini harus kita bawa ke arah mana?

Saya pribadi  yakin pembaharuan apapun dalam semua bidang ini harus tetap punya kontinuitas dengan tradisi  yang diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu jadi tidak bisa satu tradisi itu kemudian diruntuhkan begitu saja untuk dibangun sesuatu yang baru karena cara yang seperti  itu hanya akan menyesuaikan kekacauan. Jadi pembaharuan itu harus kontinu, harus ditemukan nalar kontinuitasnya dengan warisan dari tradisi lama.

Nah, persoalannya adalah tradisi lama yang diwariskan kepada bangsa ini juga sangat beragam. Sehingga kalau kita mau membuat kategori tentang budaya Indonesia itu juga tidak mudah karena ada macam-macam tradisi berbeda  yang satu tidak dipahami oleh yang lain bahkan bisa dibikin bingung oleh yang lain, seperti tradisi Betawi ini untuk kalangan budaya yang lain di Indonesia, ini bisa jadi membingungkan. Buat orang Batak, orang Betawi ini membingungkan. Dari soal nama-nama tempat saja sudah bikin bingung orang Batak.

Ada orang Batak yang baru pertama kali datang ke Jakarta turun di bandara naik taksi. Sopirnya mungkin orang Jawa atau manapun.

“Mau ke mana Pak?” kata Pak Sopir.

“Tebet kita” jawab orang Batak.

“Tebet Pak, bukan Tebet,” kata Pak Sopir.

“Apa lah, yang penting ke sana kita,” jawab si Batak.

Sampai di Tebet, orang Batak ini turun,

“Tunggu ya, habis urusan di sini kita jalan lagi,” jawab orang Batak.

Selesai urusan, ia masuk taksi lagi,

“Ke mana lagi kita, Pak?” kata Sopir.

“Menteng”.

“Menteng Pak, bukan Menteng,”

“Macam mana kau ini, tadi kubilang Tebet, kau bilang Tebet, kubilang Menteng kau bilang Menteng pula,” sebal orang Batak.

Baca Juga Beban Kepala Kampung

Jangankan orang Batak melihat Betawi, orang Solo melihat Jogja saja bingung. Karena orang Solo itu Inggih ya Inggih tapi orang Jogja Inggih itu jadi Injeh. Makanya tadi ada yang bilang katanya yang merongos Max Jager, itu katanya pernah tinggal di Jogja lama bergaul dengan ibu-ibu, pernah bikin lagu Injeh. Nah itu orang Solo bisa bingung. Ada orang Jogja bertamu ke Solo,

Kiyambakan Pak?”

Injeehh,”

Bingung orang Solonya. Karena ingin menyesuaikan diri, orang Solo menjawab, “Injiih monjo lenjah”.

Ini ragam budaya Indonesia yang luar biasa yang, membuat kita tidak mudah mendefinisikan budaya Indonesia itu seperti apa. Ini kebingungan-kebingungan yang bisa berketerusan. Malam ini saja misalnya saya diberi hadiah tadi itu apa namanya botol itu padahal inget saya itu di film-film Kung Fu itu botol buat tempat tuak. Nah ini kebingungan kita. Masak ketua umum PBNU diberi botol tuak(?)

Tapi begini, umat manusia ini dari abad ke abad ribuan tahun selalu bergulat dalam pertarungan untuk menemukan equilibrium peradaban. Banyak peradaban telah lahir bangkit banyak yang runtuh. Nah pertarungan peradaban itu biasanya mewujud dalam konsolidasi politik. Kalau sekarang kita sebut peradaban Asia, Sumeria, Mesir Kuno, Romawi Kuno kemudian peradaban Romawi Kristen, peradaban Arab Islam ini semuanya adalah bangkit dalam bentuk konsolidasi politik sehingga lahir sistem-sistem politik yang menjadi penanda dari peradaban itu. Nah dulu itu peradaban-peradaban itu bisa saling sama-sama hidup di tempat yang berbeda-beda tanpa saling mengganggu. Ada peradaban tumbuh di Irak, ada peradaban tumbuh di Levan, peradaban tumbuh di Afrika di Eropa dan sebagainya tanpa mengusik satu sama lain dulu itu bisa. Nah semuanya ini muncul dari konsolodasi politik tapi konsolidasi politik itu selalu didahulu dengan konsolidasi nilai-nilai. Kira-kira mekanismenya itu mulai dari konsolidasi nilai-nilai sehingga terbentuk satu set nilai-nilai yang bisa dijadikan merek politik untuk kemudian menjadi basis konsolidasi politik bahkan militer sehingga lahir paeradaban-peradaban kita.

Baca Juga

Kita bisa baca bagaimana sejarah peradaban Persia, sejarah peradaban Timur Tengah, peradaban India dan seterusnya. Konsolidasi politik ini selalu terjadi secara komprehensif melibatkan banyak sekali faktor. Nah sehingga tidak bisa konsolidasi politik itu mencapai sukses kalau misalnya tidak juga dibarengi dengan konsolidasi ekonomi.

Nah, hari-hari ini Bapak/Ibu sekalian setelah globalisasi tingkat lanjut ini kita melihat ada fenomena pertarungan politik untuk memperebutkan dominasi peradaban baru yang mungkin akan dilahirkan oleh globalisasi. Sejumlah kekuatan politik yang berbeda-beda mengusung brand yang berbeda-beda bertarung satu sama lain di semua lapak bukan hanya lapangan seni tapi juga ekonomi dan politik. Nah kita belum tahu siapa yang akan memenangkan pertarungan. Tetapi satu hal jelas, bahwa gagasan-gagasn tentang kebudayaan itu tidak akan membuahkan apa-apa tanpa konsolidasi ekonomi dan politik. Jadi kalau Pak Jadul cuma mikir saja macam ini, ya tidak jadi apa-apa nanti. Dan sebetulnya buah dari kebingungan juga karena saya sebagai ketua umum itu bingung juga. Lesbumi ini mau diapakan ini? Siapa yang suruh pegang ini? Karena dari dulu itu adanya bolak-balik Jadul saja. Sudah Jadul deh. Nah ini produk kebingungan juga Pak Jadul ini. Dia sendiri juga bingung mau apa ini, sampai-sampai bikin momentum 22 Juni itu tadinya mau dijadikan peringatan “Piagam Jakarta”, saya marah ini bikin gara-gara aja kamu, “Jangan!”. Terus dia berpikir lebih dalam lagi dan ketemunya “Pancer” ini. Saya juga belum paham maksudnya Pancer itu apa aja.

Tapi sekali lagi kalau kita punya, kita berpikir tentang budaya ini menurut saya harus kita susun kita bangun dalam satu visi yang komprehensif menyangkut ekonomi dan politik supaya produktif. Kalau tidak begitu, tidak produktif. Kalau tidak jadinya ya produk-produk kesenian yang masuk ke dalam industri yang di-drive oleh kepentingan-kepentingan ekonomi itu saja. Apa yang mengdrive industri kesenian sekarang ini? Kepentingan ekonomi dari persaingan bisnis maka tidak bisa kita berpikir budaya secara zuhud itu memang tidak bisa. Memang ya harus berpikir juga tentang bagaimana konsolidasi ekonomi dan politik apa boleh buat. Jadi kalau pemimpin dari agenda budaya itu masih miskin kayak Jadul ini ya saya pesimis, karena harus didukung oleh konsolidasi ekonomi, mau bagaimana lagi. Jadi itu tadi ada pantun Betawi yang menurut pantun Jawa itu “sor mejo ono ulane, jo gelo wis ngono carane”.  

Saya kira ini yang bisa saya sampaikan. Karena saya sendiri bingung mau ngomong apa. Itulah, ini saya tutup supaya tidak terlalu jauh ke mana-mana. “Sego pecel dikeceri jeruk, kecut!

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button