Reformasi Madrasah #2: Mungkinkah Madrasah Menerima Murid dari Semua Agama?
GUSYAHYA.ID – Dampak yang muncul dengan kuat sejak Orde Baru adalah segregasi yang semakin tajam di tengah-tengah masyarakat kita, khususnya dalam kaitan dengan kelompok-kelompok agama dan etnis yang berbeda-beda. Karena kita sangat progresif mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam, saat ini kelompok non-muslim juga mengembangkan lembaga pendidikan sendiri.
Jika kita punya madrasah-madrasah, maka misalnya kelompok Kristen mengembangkan sekolah Kristen Kanisius dan lain sebagainya. Dulu zaman ayah saya dan paman-paman saya, mereka bersekolah bersama dengan anak-anak keturunan Tionghoa, bahkan menjadi seperti saudara karena kedekatannya.
Nah, saat generasi saya sendiri, saya sudah tidak pernah punya teman keturunan Tionghoa dari SD sampai dengan kuliah. Karena yang keturunan Tionghoa sudah sekolah di sekolah-sekolah Kristen atau yang lainnya. Sudah jarang mereka memilih sekolah campur di sekolah negeri.
Dengan demikian, sekolah agama ini menimbulkan segregasi sejak kanak-kanak. Bahkan di sekolah negeri, nuansa segregasi itu terasa khususnya ketika pelajaran agama. Karena ada pemisahan kelas yang muslim dan yang non-muslim. Ada dampak segregasi seperti ini sejak kanak-kanak.
Baca Juga
- Reformasi Madrasah #1: Kegelisahan Paradigmatik Pendidikan Islam
- Selamat Datang di Negeri Ahlussunnah wal Jamaah
Dan segregasi ini memicu penguatan trauma pada masa lalu zaman Belanda. Yang mana segregasi ini sengaja diciptakan secara kultural antara orang Eropa kulit putih, orang Asia Timur asing atau Arab, keturunan China, dan pribumi yang parahnya dijadikan sebagai warga negara kelas tiga.
Dulu hal ini dirasakan kuat sekali sebagai trauma, namun keturunan Arab Quraisy lebih mudah melunak karena tradisi pribumi menghormati keturunan Sayid. Maka keturunan Quraisy mudah melebur dengan NU. Namun tidak dengan yang non-Quraisy seperti Baswedan misalnya, memilih membentuk sendiri Al-Irsyad, karena tradisi Arab yang sulit melebur antara kabilah-kabilah berbeda.
Maka kalau dulu AR. Baswedan membentuk Partai Arab Indonesia, yaitu Arab non-Quraisy. Karena yang Quraisy sudah ikut NU. Ini dulu begitu model traumanya. Apalagi yang Tionghoa, lebih parah lagi.
Sebetulnya, sejak kemerdekaan ini sudah mulai dinetralisir adanya segregasi ini. Namun setelah Orde Baru, mulai naik lagi angka segregasinya, bangkit lagi sentimen-sentimen anti-Cina, termasuk sentimen-sentimen anti-Arab juga. Segregasi antara kelompok identitas satu dengan yang lainnya, itu yang harus kita pikirkan.
Baca Juga
Saya senang sekali mendengar kabar bahwa Muhammadiyah misalnya sudah mulai membuka diri bahwa sekolah-sekolah mereka menerima bukan hanya murid muslim, tetapi juga non-muslim. Saya tidak tahu apakah sudah sampai ke tingkatan sekolah dasar-sekolah menengah atau belum. Yang saya tahu, perguruan tingginya sudah terbuka untuk itu, mungkinkah sudah sampai ke sekolah dasar-sekolah menengah.
Lalu sejauh mana kita akan melakukan akomodasi dalam soal ini. Ini juga menjadi problem penting, karena mendalam sekali sekarang kalau anak-anak kita sejak kecil sudah dipisah-pisahkan identitasnya. Maka nanti kalau sudah tua disuruh rukun juga susah. Problem bagi integrasi bangsa dan ini harus kita pikirkan.
Saya pikir ini merupakan topik yang mendasar, yang relevan dalam soal reformasi pendidikan madrasah. Pantas atau tidak, misalnya madrasah-madrasah menerima keturunan Tionghoa, atau murid-murid Hindu? Dan bagaimana caranya?
Namun jelas bangsa kita butuh satu strategi untuk memperkuat integritas sosial dari masyarakat kita yang super heterogen ini. Bagaimana kaitan antara peradaban dengan pendidikan, yang merupakan elemen paling mendasar. Dan yang saat ini perlu kita address dalam strategi peradaban macam mana yang kita inginkan dan butuh model pendidikan seperti apa.
*Pidato Gus Yahya di acara Islam Peradaban: Masa Depan Pendidikan Islam