Ide

Konsolidasi, Membangun Koherensi Organisasi

Tanpa ada konsolidasi, kita tidak akan mampu mengatasi masalah-masalah yang datang kepada kita. Maka, sebelum apapun juga yang kita pikirkan sebagai gagasan-gagasan mengenai inisiatif-inisiatif yang pertama-tama kita harus lakukan adalah konsolidasi.

GUSYAHYA.ID – Bapak/Ibu sekalian, kita memang punya beban, punya masalah-masalah warisan yang menumpuk ketika kita menyadari tentang tantangan-tantangan baru yang hadir di depan yang sangat berat. 

Ketika kita menyadari tantangan-tantangan baru yang menghadang, kita harus berpikir tentang apa yang harus kita lakukan sekarang. Karena di depan kita ini ada tantangan-tantangan luar biasa, kemarin mungkin beberapa bulan yang lalu kita sama sekali tidak menyangka bahwa tiba-tiba ada tantangan seperti ini. Beberapa tahun yang lalu, kita tidak menyangka ada tantangan seperti ini. Tantangan-tantangan yang tidak pernah disaksikan apalagi oleh para pendahulu kita. 

Sehingga memang ada banyak hal yang harus kita mulai siapkan, harus kita siapkan dengan sungguh-sungguh supaya kita mampu mengatasi tantangan-tantangan baru. Ada banyak hal terkait kebiasaan-kebiasaan NU selama puluhan tahun yang harus kita transformasikan menjadi cara berorganisasi yang baru supaya NU mampu menghadapi tantangan-tantangan yang lebih dinamis. 

Baca Juga Reimajinasi Pesantren

Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati, itu sebabnya kemudian sejak awal, kalau dilihat selama tiga tahun PBNU ini bekerja dari muktamar lampau dan ini nanti insyaallah masih terus sampai muktamar selanjutnya, maka tema sentral dari pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan ini adalah konsolidasi. Konsolidasi untuk meningkatkan kemampuan kita di dalam merespon tantangan-tantangan. NU ini besar sekali dan kita tahu, kita yakin betul, kita imani bahwa NU ini membawa panji-panji Al-Haq. 

Tetapi, tanpa ada konsolidasi, kita tidak akan mampu mengatasi masalah-masalah yang datang kepada kita. Maka, sebelum apapun juga yang kita pikirkan sebagai gagasan-gagasan mengenai inisiatif-inisiatif yang pertama-tama kita harus lakukan adalah konsolidasi. Konsolidasi ini punya dua relevansi dasar. Pertama adalah koherensi dan yang kedua adalah kinerja. 

Baca Juga LAZISNU dan Konstruksi Baru Kemaslahatan

Koherensi itu artinya bahwa seluruh jajaran organisasi ini harus bisa bekerja, bergerak sebagai satu badan yang tidak terpisah-pisah dari yang lain. Badan kita ini kalau bergerak itu bergerak sebagai satu badan. Kita punya dua kaki, itu kalau melangkah maka dua-duanya ke arah yang sama. Tidak mungkin satu kaki ke barat, kaki yang lain ke selatan, itu tidak mungkin, dan tangan kita pun seirama dengan langkah kaki kita. Kalau kaki kiri maju, tangan kanan yang maju. Kalau kaki kanan yang maju, tangan kiri yang maju. Karena ini adalah satu badan. Ini yang harus kita upayakan untuk menjadi postur, menjadi konstruksi dari cara kita berorganisasi. 

Karena tanpa itu, NU ini tidak akan pernah bisa dengan jelas mengarah kepada orientasi apapun. Kalau sebagian dari jajaran organisasi ini bergerak ke satu arah dan sebagian yang lain bergerak ke arah yang lain, maka arahnya itu ke mana. Kalau PBNU ke utara, MWC-nya ke timur, NU-nya itu ke mana. NU-nya tidak akan bergerak ke mana-mana. Jadi koherensi ini penting. 

Kedua, kinerja, bahwa kita harus punya kinerja, punya kemampuan untuk bekerja yang cukup baik sehingga mampu mencapai target-target yang kita tetapkan dan tidak terlambat dalam merespon tantangan-tantangan yang ada. Ini kinerja.

Menghidupkan Gus Dur

Bapak/Ibu sekalian, dalam waktu yang lama sekali, NU ini seolah-olah tidak butuh konsolidasi organisasi semacam itu (seolah-olah). Ada juga orang yang mengatakan kepada saya “Katanya menghidupkan Gus Dur. Gus Dur itu tidak ada dulu bikin peraturan macam-macam. Gus Dur itu tidak ada dulu merapikan cabang, merapikan wilayah, dan lain-lain. Itu tidak dikerjakan oleh Gus Dur.” Ini semua kita kerjakan karena tidak seorangpun yang hidup hari ini bisa seperti Gus Dur. 

Orang banyak lupa bahwa Gus Dur itu walaupun berakrobat sedemikian rupa, Gus Dur itu lincah ke sana-ke mari. Tapi orang lupa bahwa Gus Dur itu juga koheren. Gus Dur itu bisa lompat ke kiri dan ke kanan segala arah tapi arah yang ditempuh tidak pernah berubah. Karena Gus Dur itu koheren. Di samping Gus Dur punya kemampuan kepemimpinan sedemikian rupa sehingga seorang diri tanpa mengandalkan struktur apapun, Gus Dur mampu menggalang partisipasi dari warga NU untuk berjalan searah dengan beliau. 

Selama di bawah kepemimpinan beliau, dan ini terjadi di bawah kepemimpinan-kepemimpinan sebelumnya. Semuanya koheren walaupun tidak mengandalkan struktur organisasi. 

Baca Juga Strategi Humanitarian Islam

Karena pribadi-pribadi pemimpin ini adalah istimewa, pribadi yang luar biasa. Kita melihat keadaan kita hari ini, saya kira nyaris mustahil kita mengharapkan akan lahir pribadi-pribadi luar biasa seperti para pemimpin pendahulu kita itu. 

Saya bilang bahwa mungkin seratus tahun lagi sampai seratus tahun lagi kita belum tentu bisa berharap akan muncul Gus Dur yang lain (orang seperti Gus Dur). Maka kualitas kepemimpinan Gus Dur ini harus kita terjemahkan ke dalam organisasi. Kalau tidak ada individu yang mampu mengangkat suatu beban, beban itu harus diangkat secara kolektif. 

Kalau tidak ada perorangan yang mampu menjalankan kepemimpinan seperti Gus Dur, kepemimpinan itu harus dipikul secara kolektif, secara bersama-sama dengan keseluruhan struktur kepemimpinan atau kepengurusan jam’iyah ini. Maka tidak ada pilihan selain konsolidasi. 

Koherensi Ala Gus Dur

Pertama-tama untuk menjamin bahwa organisasi ini koheren seperti koherennya Gus Dur waktu itu. Gus Dur itu mungkin lompat ke sana-sini tapi tidak pernah berubah kiblat dari arah perjalanan beliau. Lurus ke satu arah. Lompat kiri-lompat kanan itu untuk menghindari berbagai macam bahaya yang ada di jalan, apakah itu lubang, apakah itu kotoran, atau bahaya-bahaya yang lain, tetapi arah perjalanannya tidak pernah berubah. Itu yang harus kita bangun di dalam konstruksi organisasi kita. 

Kedua kinerja, kita lihat bagaimana capaian-capaian Gus Dur yang luar biasa dikerjakan seorang diri, sendirian. Bagaimana Gus Dur yang selalu saya bangga-banggakan termasuk di berbagai forum internasional bahwa Gus Dur telah mampu menciptakan transformasi dari mindset di satu generasi penuh. Saya merasakan betul dari sejak sebelum mengenal Gus Dur dan sebelum kemudian berinteraksi dengan dinamika yang diciptakan oleh Gus Dur. 

Kita ini tidak seperti ini. Saya ini tidak seperti ini dulu sebelum mengenal Gus Dur. Kalau saya ingat bagaimana saya waktu SMA misalnya, atau awal-awal jadi mahasiswa itu tidak seperti ini. Seluruh generasi sekarang kalau bertanya, orang NU dari generasi saya tidak ada yang tidak tumbuh dalam kepemimpinan Gus Dur yang tidak berpikir tentang citra diri, yang berusaha seperti Gus Dur. Ini luar biasa. Yang begini-begini ini karena sekarang tidak mungkin orang per orang yang memiliki kapasitas seperti itu, sementara kualitas yang dihasilkan jelas terus-menerus kita butuhkan sampai kapan pun. Kita butuh seperti yang dibuat oleh Gus Dur itu terus-menerus. 

Baca Juga Wali Songo dan Kerangka Kerja Intelektual

Maka harus ada yang melaksanakan fungsi dengan kapasitas yang bisa mengejar kekuatan dan kapasitas Gus Dur. Kalau individu-individu ini tidak ada, tidak ada cara lain kecuali kita harus melaksanakannya secara kolektif, secara bersama-sama. Itulah latar belakang pemikiran kenapa kita menjadikan agenda konsolidasi ini sebagai agenda utama, sebagai badan tubuh dari keseluruhan ikhtiar-ikhtiar kita di dalam mengembangkan jam’iyah ini sekurang-kurangnya dalam periode ini. 

Ini merupakan hal penting, sehingga saya selalu menjaga disiplin dalam hal-hal kecil. Contohnya, di semua majelis organisasi, saya konsisten menyebut Rais Syuriah dengan sebutan “Yang Mulia”. Alasannya, seseorang yang ditakdirkan menjadi Rais Syuriah berarti telah ditakdirkan menempati maqam (kedudukan) yang mulia. Kemuliaan ini melekat pada dirinya dan posisinya sebagai Rais Syuriah, bukan sekadar penghormatan formal belaka.

Perlu dipahami bahwa posisi Rais Syuriah bukanlah jabatan biasa. Dalam organisasi NU (Nahdlatul Ulama), Syuriah adalah inti yang memegang otoritas keagamaan. Ada perbedaan mendasar antara “dimuliakan” dan “memang mulia”. Terkadang, kita memuliakan seseorang meskipun hakikat dirinya belum tentu mulia. Namun, Rais Syuriah memiliki kemuliaan yang hakiki karena maqamnya, bukan hanya karena penghormatan simbolis.

Baca Juga Koherensi dan Kesiapsiagaan

Kedisiplinan saya dalam menggunakan frasa “Yang Mulia” juga dilandasi kesadaran akan tanggung jawab besar yang dipikul Rais Syuriah. Mereka bertugas mengemban wewenang keagamaan yang tidak sederhana—suatu amanah yang memerlukan integritas, kapasitas, dan kesiapan spiritual.

Selanjutnya, saya ingin sampaikan juga dan saya ulang-ulang sebetulnya yaitu berkonsolidasi ini didesain oleh PBNU dalam tiga matra besar, tiga dimensi besar, tiga arena besar. 

Tiga Matra Konsolidasi

Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tengah melakukan langkah strategis melalui tiga pilar konsolidasi: tata kelola, sumber daya, dan agenda. Tujuannya jelas: membangun fondasi yang kokoh agar NU tidak hanya besar, tetapi juga bermartabat, mandiri, dan sulit diselewengkan untuk kepentingan sempit.

Pertama, konsolidasi tata kelola menjadi prioritas. NU tidak ingin lagi dikelola secara serampangan, asal jalan, atau sekadar menuruti keinginan sesaat. Semua proses—mulai pengambilan keputusan, pelaksanaan program, hingga administrasi—harus mengikuti standar tertulis yang jelas. Contohnya, surat resmi wajib memenuhi format tertentu, sementara program kerja harus disesuaikan dengan mekanisme yang terukur. Disiplin adalah kuncinya. Pelanggaran aturan tidak ditoleransi, seperti kasus Ketua PWNU Riau yang diberhentikan karena mencalonkan diri sebagai anggota DPD tanpa mundur dari jabatannya di NU. Proses pemberhentian ini dilakukan sesuai Anggaran Rumah Tangga (ART), melalui tahapan transparan, dan siap dipertanggungjawabkan hingga ke tingkat tertinggi—bahkan hingga Yaumul Hisab. Meski alasan pemberhentian tidak selalu diumbar ke publik, keputusan ini bukanlah kebijakan “asal-asalan”, melainkan berdasar dokumen hukum internal yang bisa diverifikasi kapan pun.

Kedua, konsolidasi sumber daya, baik manusia maupun pembiayaan. Untuk sumber daya manusia, NU telah melatih lebih dari 6.000 kader di Jakarta agar paham tugas, tanggung jawab, dan visi organisasi. Syarat menjadi ketua PCNU atau PWNU juga diperketat. Sekarang, jabatan tersebut tidak lagi mudah diraih—hanya mereka yang benar-benar memenuhi kriteria dan melalui proses seleksi ketat yang layak memimpin. Hal ini sengaja dilakukan agar NU dipandang sebagai organisasi profesional, bukan “lapangan” bagi orang-orang yang ingin mencari popularitas instan.

Baca Juga Konsolidasi Organisasi, Pandu Membangun Ekosistem yang Padu

Di sisi pembiayaan, NU kini berusaha mandiri. Biaya operasional bulanan sebesar Rp1,3-1,5 miliar—untuk gaji karyawan, listrik, air, dan kebutuhan kantor—tidak lagi bergantung pada donasi. Semua ditutup dari hasil usaha lembaga PBNU, seperti perusahaan-perusahaan yang dikelola secara profesional. Contohnya, PT Layanan NU yang meski sempat menimbulkan tanda tanya karena didirikan tanpa koordinasi jelas, kini menjadi bagian dari upaya kemandirian finansial. Prinsipnya mirip dengan tekad swasembada pangan: jika NU bisa mandiri, pengaruh pihak luar yang kerap memanfaatkan nama besar organisasi ini bisa diminimalisir.

Ketiga, konsolidasi agenda. NU harus bergerak sebagai “satu badan”, di mana semua level—dari ranting, cabang, PW, hingga PBNU—bekerja selaras berdasarkan rencana strategis yang sama. Rencana Strategis Nasional NU, yang disahkan Juni 2023, menjadi panduan utama. LAKPESDAM, lembaga yang sebelumnya fokus pada kajian, kini ditransformasi menjadi Badan Perencana Pembangunan NU. Tugasnya mengumpulkan data, menganalisis kebutuhan, dan merancang rekomendasi kebijakan agar setiap kegiatan di tingkat daerah—seperti Musyawarah Kerja Wilayah (Musykerwil) DKI Jakarta—dapat mengacu pada visi besar yang terpadu.

Namun, jalan konsolidasi ini tidak mulus. Banyak tantangan muncul, terutama dari pihak yang selama ini “nyaman” memanfaatkan NU untuk kepentingan pribadi. Misalnya, lembaga seperti Rumah Sedekah NU Malang yang awalnya didirikan LAZISNU Jatim, kini lepas kendali dan dikuasai individu. Atau puluhan PT berdomisili di kantor PBNU tanpa izin resmi, seperti PT Layanan NU dengan CEO bernama Robertus Sinaga—entah siapa pendirinya, yang jelas NU tidak pernah mengesahkannya. Penyalahgunaan nama NU juga marak terjadi: banyak yayasan, perguruan tinggi, bahkan rumah sakit mengklaim sebagai bagian dari NU, padahal secara organisatoris tidak terhubung sama sekali.

Baca Juga Mandat Tebuireng

Untuk itu, PBNU tak gentar merenegosiasi kepemilikan aset dan menutup celah penyalahgunaan. Tentu ada yang protes. Sebagian pihak mengeluh karena mekanisme baru membatasi akses mereka “bermain” atas nama NU. Tapi kritik itu seringkali tanpa dasar—tidak ada PW atau PCNU yang secara resmi mengaku dirugikan. Ini sekadar bentuk kekecewaan mereka yang kehilangan kesempatan memanfaatkan NU sebagai “kendaraan” pribadi.

Meski berat, konsolidasi harus terus dilanjutkan. NU tidak ingin menjadi organisasi yang “lemas” karena tata kelola amburadul. Dengan struktur yang rapi, sumber daya manusia terlatih, dan agenda terpadu, generasi penerus akan mewarisi organisasi yang digdaya—kuat, mandiri, dan sulit digoyahkan.

Karena itu, semua kader diajak bersatu: mencurahkan energi, pikiran, dan hati untuk kemaslahatan NU. Kita bergerak sebagai satu tubuh, dengan harga diri yang dijunjung tinggi. Seperti pesan penutup dalam Musyawarah Kerja Wilayah: “Mari buka jalan bagi NU yang bermartabat, dengan membaca Ummul Kitab bersama-sama—sebagai simbol kesatuan dan kesungguhan kita.”

*Disampaikan dalam Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) PWNU Prov. Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang dilangsungkan di Hotel Bumi Gumati, pada Selasa 24 Desember 2024.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button