Kembali ke Mazhab Muassis

Nahdlatul Ulama (NU) tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari keresahan para ulama terhadap nasib umat di tengah gelombang perubahan zaman. Dari kegelisahan itu lahir satu warisan yang lebih besar dari sekadar organisas sebuah kerangka berpikir dan bertindak, yang saya sebut sebagai mazhab muassis.
GUSYAHYA.ID – Sebelum KH Abdul Wahab Chasbullah memimpin Komite Hijaz yang menjadi inang dari Nahdlatul Ulama, ada komite lain yang ditolak Kiai Wahab dengan alasan “ketinggalan kapal”. Komite itu diadakan untuk berembug perihal kealpa-an Khilafah Islamiyah pasca runtuhnya Turki Usmani dibahas di Hijaz, kala Kerajaan Saud mulai berkembang, dan Kiai Wahab menolak–secara halus–Komite tersebut, dan mengusulkan adanya Komite Hijaz untuk menyelesaikan persoalan umat yang lebih kompleks.
Mazhab ini bukanlah mazhab fikih dalam pengertian klasik, tapi lebih dari itu ia adalah manhaj, jalan pikir dan jalan juang para pendiri NU dalam merespons realitas. Mereka adalah penjaga tradisi dan sekaligus pelaku transformasi. Mereka bukan hanya mengajarkan agama, tetapi meneguhkan agama sebagai alat untuk memperbaiki peradaban.
Di Museum NU Surabaya, tersimpan sebuah naskah tua al-Jurumiyah, ditulis dengan tangan. Di masa itu, kitab tidak mudah diakses. Maka para kiai dan santri menyalinnya satu huruf demi satu huruf, untuk diajarkan dan dijual kepada mereka yang sanggup membelinya.
Baca Juga Istitha’ah Haji di Masa Kini
Sama halnya dengan KH Bisri Mustofa, kakek saya, misalnya, mencari nafkah dengan menyalin kitab-kitab dengan tulisan tangan dan dijual kepada para santri yang kaya.
Inilah potret awal Islam yang disampaikan oleh para muassis, ia datang bukan dengan paksaan atau kekuasaan, tetapi dengan tangan, dengan ilmu, dan dengan kesabaran.
Islam menyebar dengan cepat, bahkan menurut Agus Sunyoto, dalam 40–50 tahun, ia telah menyebar hampir merata ke seluruh Nusantara. Tapi penyebarannya bukan dilakukan oleh tentara atau utusan negara, melainkan oleh para pemuka lokal, seperti kiai, guru, dan wali, yang menggabungkan peran agama dan kepemimpinan sosial.
Struktur sosial kita memberi ruang pada model ini. Sriwijaya dulu hanya menguasai pelabuhan dan jalur dagang; sementara daerah pedalaman tumbuh dengan otonomi dan dinamika sendiri. Maka muncullah komunitas-komunitas mandiri yang dipimpin oleh tokoh lokal—di Jawa, kita mengenal sosok seperti Ki Ageng Selo atau Ki Ageng Giring. Lambat laun, fungsi kepemimpinan ini bergeser dari Ki Ageng ke Kiai, dari panglima sosial menjadi pemuka spiritual. Format Ki Ageng ini lantas tak hanya berkutat di urusan khidmatul ilm (pengabdian ilmiah), melainkan juga riayatul ummah (memimpin umat).
Baca Juga Kemanusiaan Tidak Boleh Kalah
Yang menarik, para kiai ini bukan hanya penjaga syariat, tetapi juga pengambil keputusan sehari-hari. Mereka berhadapan langsung dengan realitas umat, dan karenanya terbiasa berijtihad atas peristiwa-peristiwa riil yang tak selalu ditemukan dalam kitab. Bagi mereka, agama bukan hanya ilmu, tapi juga jalan untuk menyelesaikan urusan manusia.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana kultur ijtihad itu hidup di pesantren. Di Rembang, pernah terjadi peristiwa unik: seorang warga membeli sapi, lalu sempat disembelih, tapi sapi itu masih hidup dan lari. Setelah ditangkap kembali dan disembelih untuk kedua kalinya di bagian lain, muncul perdebatan soal keabsahan sembelihan itu. Para kiai langsung turun tangan, memutuskan dengan ilmu dan kearifan lokal.
Atau cerita soal Mbah Ali Maksum yang pernah berkata: “Kalau ada yang nyolong lombok dan tidak ketahuan, saya halalkan.” Tentu ini bukan fatwa legal formal, tapi ungkapan kedalaman empati seorang kiai terhadap masyarakat kecil. Bahkan hal sepele seperti ini sekalipun menjadi ladang ijtihad.
Baca Juga NU Jaminan Kemaslahatan Rakyat
Di masa lalu, saya menyaksikan bahwa para kiai tidak pernah canggung untuk memutuskan sesuatu, meskipun tak selalu ada rujukan eksplisit dalam kitab. Mereka tidak hanya berpegang pada teks, tapi juga pada maslahat. Tapi belakangan, saya melihat ada pergeseran: banyak yang merasa tidak berani mengambil sikap, kecuali sudah tertulis di kitab. Ini justru menjauh dari keberanian para muassis.
Contoh lain dari kedalaman mazhab muassis adalah dalam hal budaya. Tradisi ludruk misalnya, dari awal perempuan tidak diperkenankan bermain, sehingga peran-peran perempuan diperankan oleh laki-laki. Ini bukan sekadar selera artistik, tetapi saya curiga ada dasar etis-religius yang memengaruhi. Dalam literasi keagamaan kita, memang ada kepekaan terhadap interaksi panggung dan adab. Hal seperti ini dijaga berabad-abad, tetapi tanpa mengganggu tumbuhnya kreativitas lokal.
Begitu pula soal tradisi sedekah saat mengiring jenazah. Di beberapa daerah, ada kebiasaan menyebar uang sepanjang jalan saat mengantar jenazah. Saya kira ini bagian dari tafsir kultural terhadap gagasan istighfar dan sedekah untuk orang yang telah meninggal. Ulama kita tidak gegabah menolak hal seperti itu sebagai bid’ah, melainkan memahami konteksnya sebagai ekspresi sosial yang dibungkus niat baik.
Baca Juga NU dan Asta Cita
Kiai bukan sekadar penjaga teks, tetapi juga penafsir hidup. Karena itu, ada cerita lucu sekaligus mendalam. Kiai Zainal Abidin Krapyak, suatu pagi, di sebuah pengajian mengatakan bahwa “Yang lebih afdhal adalah makan dengan tangan, karena kalau pakai sendok, tangan kiri ikut-ikutan”. Tak lama, seorang santri yang pulang dan berpapasan dengan Kiai Ali Maksum. Kata beliau, “Balik ke Kiai Zainal. Bilang, ngga boleh naik sepeda, karena kalau naik sepeda tangan kiri ikut-ikutan.” Sebuah sindiran halus terhadap kecenderungan ijtihad yang terlalu tekstual, tanpa mempertimbangkan kenyataan. Toh meski hal itu hanya sebagai gurauan yang, memang sering dilakukan oleh Kiai Zainal ke Kiai Ali Maksum dan sebaliknya.
Kalau Kiai Ali Maksum itu prinsipnya kabeh ilmu kudu dilakoni (semua ilmu harus dijalankan) tapi Kiai Zainal itu kabeh laku kudu dingilmoni (semua perbuatan itu harus ada ilmunya).
Ironisnya, seiring waktu, ruang ijtihad itu menyusut. Banyak yang justru merasa tidak berani memutuskan kalau belum ada dalil eksplisit di kitab. Padahal, para muassis kita telah mencontohkan bahwa ijtihad bukanlah pelanggaran, tapi wujud tanggung jawab terhadap umat dan zaman.
Namun semua ini tidak akan bertahan jika NU hanya mengejar panggung populer. Hari ini, kita hidup dalam era media sosial, viralitas, dan gemerlap digital. Yang dikutip bukan lagi kitab, tetapi potongan ceramah TikTok. Yang dirujuk bukan lagi sanad, tetapi seleb kiai dengan jutaan followers. Dampak yang paling kentara adalah para kiai tersebut lantas mudah berkompromi dengan permintaan jamaah, dan menganggapnya sebagai lumrah. Hal ini cukup mendasar. Suatu ketika KH Maimoen Zubair mengatakan “Jangan jadi kiainya orang awam. Jangan jadi kiai yang menuruti keinginannya orang awam”. Ini bukan salah teknologi, tapi ini akan jadi masalah besar jika kita tidak mampu menjaga akar.
Baca Juga Konsolidasi, Membangun Koherensi Organisasi
Kembali ke mazhab muassis berarti kembali ke akar itu, ke sikap, bukan sekadar pendapat; ke keberanian, bukan hanya kepatuhan; kekeikhlasan, bukan ketenaran.
Karena itu, dalam masa kepemimpinan ini, saya menegaskan pentingnya penataan organisasi secara serius. Kami meluncurkan Rencana Jangka Panjang Organisasi (RJPO), memperkuat sistem kaderisasi, menyusun ulang struktur kerja, mempercepat transformasi digital, dan memperjelas arah gerak NU ke depan. Semua itu bukan teknokrasi belaka, melainkan cara kita menyiapkan NU sebagai aktor strategis peradaban global.
Tapi untuk menjadi kekuatan global, kita harus kuat di dalam. Kita butuh sistem, bukan sekadar simbol. Kita perlu nilai, bukan sekadar narasi. Kita harus membangun kembali kebiasaan bertindak berdasarkan ilmu, musyawarah, dan hikmah. Dan ini semua hanya bisa lahir dari satu sumber yaitu mazhab muassis.
Saya percaya bahwa jika NU setia pada manhaj ini, kita bukan hanya akan bertahan, tapi akan memimpin zaman. Dunia hari ini kehilangan arah. Kita melihat ekstremisme merajalela, kekosongan spiritual merebak, dan solidaritas antarumat manusia semakin tipis. Di tengah kekacauan itu, NU dengan tradisi tawassuth dan tasamuh-nya bisa hadir sebagai solusi. Tapi hanya jika kita kembali pada ruh pendirinya.
Baca Juga Reimajinasi Pesantren
Maka saya katakan kita harus kembali ke mazhab muassis. Kembali ke keberanian berijtihad, bukan hanya mengulang kutipan. Kembali ke komitmen sosial para ulama, yang memutuskan bukan demi status, tapi demi maslahat. Kembali ke tradisi yang hidup, bukan hanya yang tertulis.
Mazhab muassis bukan sekadar soal metode fikih. Ia adalah warisan keberanian, kebijaksanaan, dan pengabdian. Kita perlu menjadikannya ruh utama dalam gerakan kita hari ini. Karena tantangan zaman tidak bisa dijawab hanya dengan hafalan, tapi dengan hikmah yang hidup.
Kita tidak sedang memilih siapa yang benar atau salah. Kita sedang memilih prioritas dan arah.
*Disampaikan ketika menjadi Narasumber di Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN-NU) di Hotel Yuan Garden, Jakarta Sabtu, 21 Juni 2025.