Ide

NU Jaminan Kemaslahatan Rakyat

Posisi NU seharusnya sebagai jaminan kemaslahatan rakyat. Bukan soal berapa jabatan yang diraup, tapi bagaimana memastikan program pemerintah untuk rakyat miskin benar-benar terlaksana.

GUSYAHYA.ID – Sejak tadi saya merasakan kekaguman atas dedikasi bapak/ibu sekalian dalam mengikuti dan melaksanakan Munas Konbes kali ini. Biasanya di acara terakhir seperti ini, hanya segelintir orang yang bertahan. 

Tapi Munas Konbes kali ini, dari awal sampai akhir, pesertanya penuh dan semangatnya tetap menggebu. Wakil ketua umum bilang ini fenomena luar biasa, hasil konsolidasi. Saya sendiri berpendapat, ini terjadi karena teman-teman sudah paham tujuan bersama.  

Saya ingin menegaskan kembali tujuan utama yang kita perjuangkan selama tiga tahun terakhir dengan segala suka-dukanya. Setidaknya, dalam periode kepengurusan PBNU saat ini, ada dua hal yang ingin kita selesaikan. Pertama, menyelesaikan konstruksi governance system

Baca Juga NU dan Asta Cita 

Governance system adalah tatanan yang menjadi wadah untuk mengelola semua urusan NU dalam satu sistem terpadu. Banyak senior di sini yang sudah lama menjadi pengurus, terutama yang meniti karier dari bawah—seperti KH Hasyim Muzadi dan KH Miftachul Akhyar—pasti merasakan betapa selama ini NU sebagai organisasi jam’iyyah tidak memiliki sistem tata kelola yang mapan.  

Selama bertahun-tahun, bahkan sejak saya menjadi pengurus PBNU tahun 2010, kondisi PW, PC, dan ranting ibarat gelap gulita. PBNU tidak pernah tahu kapan konferensi cabang digelar, tiba-tiba hanya menerima surat permintaan turunkan SK. Sampai akhirnya kita menemukan fakta ada PC-PC bodong. 

Contohnya, satu PW pernah memiliki 29 cabang, dan 18 di antaranya tidak sah—biasanya dibuat menjelang muktamar untuk kepentingan voting. Praktik semacam ini berbahaya untuk keberlangsungan NU. Dulu mungkin bisa diatasi karena ada sosok hebat seperti Gus Dur yang mampu mengkonsolidasi NU sendirian, tapi kita tidak bisa selamanya bergantung pada figur. Governance system inilah jawabannya.  

Baca Juga Konsolidasi, Membangun Koherensi Organisasi

Kita sedang menyusun batu bata yang berserakan menjadi bangunan utuh. Digitalisasi dan pelatihan kader adalah dua hal yang tidak bisa ditawar. Berapa pun anggaran yang dibutuhkan, saya minta dicarikan. Siapa pun ketua umumnya nanti, sistem ini harus diteruskan. Kedua, kita perlu memposisikan NU secara tepat di tengah konstelasi bangsa. Selama ini NU dianggap sebagai kekuatan politik untuk merebut kekuasaan—ditanya berapa menteri dari NU, atau diarahkan untuk menyiapkan calon presiden. Ini keliru.  

Posisi NU seharusnya sebagai jaminan kemaslahatan rakyat. Bukan soal berapa jabatan yang diraup, tapi bagaimana memastikan program pemerintah untuk rakyat miskin benar-benar terlaksana. Birokrasi sering tak mampu menjangkau akar rumput. Di sinilah NU harus hadir: memastikan bantuan sampai ke yang berhak. Validasi struktur yang kita lakukan—misalnya memverifikasi kepengurusan cabang—bertujuan agar kita tahu siapa yang bertanggung jawab di lapangan.  

Baca Juga Reimajinasi Pesantren

Dua agenda ini tidak mudah. Membangun governance system mungkin tak selesai dalam satu periode, tapi kita harus mencapai titik di mana sistem ini tak bisa dihentikan. Begitu juga reposisi NU akan rumit, tapi selama kita konsisten, imajinasi NU sebagai “sumber daya politik” akan bergeser menjadi “mitra kemaslahatan”.  

Perlu diingat, 30% penduduk Indonesia sejak 2005 mengaku sebagai NU. Jangan sampai mereka menyesal karena kita abai pada tugas utama. Semua yang kita kerjakan ini adalah lanjutan dari barokah para muassis. Kita tidak bisa menciptakan barokah sendiri, tapi melanjutkan warisan mereka dengan sistem yang kuat dan posisi yang jelas: NU untuk rakyat, bukan kekuasaan.  

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button