Ide

Organisasi Antar Batin

GUSYAHYA.ID – Yang jarang diingat orang adalah bahwa dalam “thariqah” kita, segala tingkah itu mengemban dimensi lahir dan dimensi batin.

الحق بلا نظام يغلبه الباطل بنظام

Kebenaran tanpa sistem (tak terorganisasi) akan dikalahkan oleh kebatilan bersistem (terorganisasi)

Itu adalah maqolah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karromallaahu Wajhah. Dulu, maqolah itu sering dijadikan “semboyan” otokritik NU yang dirasa –meminjam ungkapan Gus Mus– “tidak kunjung men-jam’iyyah”, yakni kelemahan manajemen yang menjadi kendala utama pencapaian prestasi-prestasi organisasi.

Biasanya, yang dijadikan ukuran atau bukti-bukti ketertinggalan NU dalam otokritik itu adalah kurangnya kemampuan untuk membangun dan mengembangkan lembaga-lembaga khidmah modern seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan semacamnya.

Yang jarang diingat orang adalah bahwa dalam “thariqah” kita, segala tingkah itu mengemban dimensi lahir dan dimensi batin.

Mungkin anda juga suka

Bagaimana mungkin suatu wilayah kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau terpisah lautan serta ratusan suku, budaya dan bahasa etnik yang begitu berbeda-beda bisa tergalang dalam semangat satu bangsa yang tertanam sedemikian dalamnya?

Bagaimana mungkin sekian banyak kerajaan yang berdaulat mengabad mau “membubarkan diri” untuk melebur menjadi satu bangsa yang menghapus daulat raja-rajanya? Sistem organisasi macam apa yang mengelola proses penggalangannya?

Gus Dur terkenal sebagai orang yang dalam kedudukan apa pun cenderung “seenaknya sendiri”. Hal itu boleh dikata merupakan sumber utama kontrovesi-kontroversinya.

Beliau “anti kerumitan”. “Gitu saja kok repot”, katanya. NU dibawah beliau sering dianggap sebagai periode yang secara administratif “paling kacau-balau”. Tapi alangkah sulit mengingkari kenyataan bahwa periode itulah salah satu zaman keemasan NU. Nah, Gus Dur mengorganisir NU dengan cara apa?

Mungkin anda juga suka

Pertengahan 1980-an, Gus Dur belum lama menjadi Ketua Umum PBNU. Jangankan HP, telepon rumah pun masih agak jarang. Kyai Mansur Hafidh, Rembang, sowan ke kediaman Mbah Lim (Kyai Muslim Rifa’i Imampuro) di Jatinom, Klaten. Walaupun waktunya tanggung –pagi sudah tidak, siang juga belum– Nyai Muslim berepot-repot menata hidangan makan lengkap untuk menghormati tamunya. Tapi begitu hidangan siap, Mbah Lim malah menggelandang Kyai Mansur keluar rumah.

“Menatanya di sini… makannya di Jombang… menatanya di sini… makannya di Jombang…”, kata Mbah Lim, lalu menarik tamunya masuk “mobil Hunter” –sedan Ford tua mirip kepunyaan detektif Hunter dalam serial televisi yang populer waktu itu. Mobil pun langsung nggeblas ke arah Timur. Diam-diam Kyai Mansur menyesali nasib, teringat betapa diantara hidangan yang disiapkan Nyai tadi ada buah apel ranum kesukaannya.

Masuk Jombang sudah menjelang sore. Gus Dur sudah berdiri di halaman rumah ketika tamu-tamunya datang.

“Sudah saya tunggu-tunggu”, katanya, “kita langsung makan!”

Kyai Mansur plenggang-plenggong. Berjalan menuju pintu rumah, ia sempatkan nyeletuk bertanya,

“Kok panjenengan tahu kalau kami berangkat dari Klaten tadi mau makan?”

Gus Dur cuma senyum-senyum.

“Saya juga punya apel lho!”, katanya.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button