Yadullāhi Ma’al Jamā‘ah

Rasulullah saw. bersabda “Yadullah ma’al jama’ah” — pertolongan Allah bersama jamaah. Jika kita ingin ditolong, maka bersatulah.
GUSYAHYA.ID – Menjadi santri adalah sa’yun syamil, perjuangan yang utuh, yang menggabungkan thālabul ‘ilm, tazkiyatun nafs, dan jihad fī sabilillah.
Menjadi santri berarti mampu menggerakkan dirinya untuk mencari ilmu, membersihkan jiwa, dan berjuang di jalan Allah. Santri belajar bukan hanya untuk mengisi akal, tetapi juga untuk mengasah dan membersihkan hati. Ia tidak hanya menuntut ilmu secara intelektual, tetapi juga menempuh riyadhoh untuk menyucikan jiwanya.
Belajar semata-mata menyerap ilmu belum cukup. Belajar sejati harus dibarengi dengan tirakat — perjuangan lahir dan batin demi memperoleh ilmu yang penuh keberkahan. Dan semua itu berujung pada jihad fi sabilillah, karena seluruh perjuangan manusia sejatinya adalah untuk mengharap ridha Allah SWT. Puncak dari penghambaan itulah jihad fi sabilillah.
Baca Juga Kembali ke Mazhab Muassis
Tema HSN: Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Mulia
Tahun ini, kita mengambil tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Mulia.”
Kenapa demikian? Karena Hari Santri ditetapkan dengan merujuk pada Resolusi Jihad yang diumumkan oleh Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 — seruan perang sabil untuk menolak penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Semangat dasar dari Resolusi Jihad adalah mempertahankan, membela, dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan serta cita-cita Proklamasi.
Presiden Prabowo pernah mengatakan, bahwa kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta, tetapi ujian pertamanya terjadi di Surabaya. Dan kita bisa katakan, yang mengerjakan ujian itu adalah para santri.
Itulah sebabnya tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional, dengan semangat untuk mengawal Indonesia merdeka.
Baca Juga Istitha’ah Haji di Masa Kini
Visi Peradaban Mulia
Indonesia merdeka bukan hanya untuk bangsa kita sendiri, tetapi juga membawa visi peradaban yang mulia bagi seluruh umat manusia.
Dalam pembukaan UUD 1945, pada paragraf pertama disebutkan bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa.” Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan yang kita perjuangkan bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk seluruh bangsa di dunia.
Maka dari itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Inilah visi peradaban yang berlandaskan kesetaraan martabat antarbangsa — peradaban yang ditegakkan dengan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Nahdlatul Ulama bersama seluruh santri dan kadernya berkomitmen untuk terus mengawal Indonesia merdeka menuju cita-cita dasarnya: mewujudkan peradaban mulia bagi seluruh umat manusia.
Baca Juga Kemanusiaan Tidak Boleh Kalah
Peringatan HSN 2025: Dari Terpusat ke Tersebar
Dalam rapat gabungan Syuriah dan Tanfidziyah beberapa waktu lalu, kita sepakat untuk melaksanakan Hari Santri tahun ini dengan bentuk dan warna yang berbeda.
Jika biasanya HSN dilaksanakan secara terpusat — dengan apel besar, kirab bendera, dan berbagai kegiatan monumental — maka tahun ini kita arahkan agar peringatan HSN diselenggarakan secara tersebar dan terdesentralisasi di seluruh Indonesia.
Kita mengajak seluruh jajaran NU di berbagai tingkatan untuk menginisiasi kegiatan masing-masing, sesuai potensi dan kreativitas daerah.
Beberapa lembaga di lingkungan NU juga telah menyiapkan berbagai kegiatan:
- RMI dan JATMAN akan mengadakan istighotsah serta halaqah santri dan kiai.
- LP Ma’arif akan menggelar Perkemahan Santri Nasional di Malang.
- LAZISNU akan menginisiasi kegiatan sosial, baik berupa bantuan langsung maupun kolaborasi lintas lembaga.
Pengurus wilayah dan cabang dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut agar kegiatan HSN bisa dirasakan hingga ke akar rumput.
Tujuannya adalah menghadirkan momentum yang membuat bangsa ini kembali teringat pada perjuangan kemerdekaan, serta meneguhkan tanggung jawab kita semua untuk mengawal kemerdekaan hingga mencapai cita-cita mulia.
Baca Juga NU Jaminan Kemaslahatan Rakyat
Seruan Persatuan Nasional
Kita perlu menyadari bahwa tantangan bangsa saat ini tidaklah ringan. Dinamika global semakin kompleks, dan di dalam negeri kita pun menghadapi banyak persoalan.
Karena itu, Hari Santri juga menjadi seruan untuk bersatu.
Kita mengajak seluruh elemen bangsa untuk menggalang persatuan nasional dalam menghadapi tantangan bersama. Tidak ada satu pihak pun yang bisa berjalan sendiri. Hanya dengan bersatu, kita bisa selamat dan berhasil bersama.
Sebagaimana sabda Rasulullah: “Yadullah ma’al jama’ah” — pertolongan Allah bersama jamaah. Jika kita ingin ditolong, maka bersatulah.
Pesan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari
Hadratussyekh mengamanatkan:
“Udkhuluu haadzihil jam’iyyah bil mahabbah wal widad wal ulfah wal ittihad.”
Masuklah kalian ke dalam jam’iyyah NU dengan kasih sayang, cinta, keakraban, dan persatuan.
Artinya, kalau kita tidak bisa saling menyayangi sesama warga NU, lebih baik tidak usah mengaku bagian dari NU.
Persatuan bukan berarti menafikan perbedaan. Perbedaan pandangan, pendapat, dan gagasan adalah sesuatu yang niscaya. Namun, jangan sampai perbedaan itu justru menghalangi kita untuk bersatu.
Banyak masalah muncul bukan karena perbedaan, tetapi karena kita enggan bersatu.
Maka, ikutilah pesan Hadratussyekh: bersatulah dulu, baru selesaikan perbedaan.
Dan semangat ini perlu kita perluas:
“Udkhulu ‘Aalami Indonesia bil mahabbah wal widad.”
Masuklah ke dalam kehidupan kebangsaan Indonesia dengan cinta dan kasih sayang.
Mari kita taburkan kasih sayang, kerukunan, keutuhan, serta persatuan di antara sesama anak bangsa — bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara ruhani.
Dengan bersatu lahir dan batin, insyaallah Allah SWT akan menurunkan pertolongan-Nya.
Yadullah ma’al jamaah — pertolongan Allah bersama orang-orang yang bersatu.
*Disampaikan dalam Kick Off Hari Santri Nasional PBNU, 10 Oktober 2025 di Plaza Gedung PBNU.



