Ide

Pintu Masuk Peradaban Baru

GUSYAHYA.ID – Kereta api sejarah melaju di atas rel waktu. Melawan rel ataupun membuang diri dari gerbong adalah mustahil. Agama membantu memahami hakikat kereta api dan rel dan menyuruh membangun peri hidup yang baik diantara para penghuni gerbong, yaitu peradaban.

Pandangan-pandangan yang dominan di dalam turats fiqhiyah lahir bersesuaian dengan konteks realitas kesejarahan pada zamannya, yaitu realitas sistemik dari peradaban umat manusia pada masa itu.

Kini, kita menghadapi realitas peradaban yang secara fundamental sama sekali berbeda. Perubahan-perubahan mendasar pada format peradaban telah terjadi, dan –sebagaimana dinyatakan di dalam “Manifesto Nusantara” yang telah diumumkan oleh Gerakan Pemuda Ansor di Yogyakarta pada tanggal 25 Oktober 2018—ada sekurang-kurangnya empat fenomena perubahan besar yang mewarnai lahirnya format peradaban baru pada masa kini:

1) Perubahan tatanan politik internasional

a) Pada masa lalu, hampir setiap negara atau kerajaan menyandang identitas agama. Pada masa kini, sebagian besar negara-negara yang ada telah melepaskan identitas agama dan menggantinya dengan identitas nasional.

b) Pada masa lalu, tidak ada rezim perbatasan antar-negara, sehingga hubungan antar-negara berlangsung senantiasa dalam kerangka interaksi militer. Bahkan negara-negara yang secara geografis bersandingan satu dengan lain cenderung terjebak dalam perang abadi di garis batas jangkauan militer masing-masing.

Saat ini, dengan adanya rezim internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka perbatasan antar-negara jauh lebih terjamin kemapanannya sebagai batas-batas kedaulatan masing-masing.

Baca Juga Getir

2) Perubahan demografi

a) Pada masa lalu, karena setiap negara atau kerajaan menggunakan identitas agama, maka status kewarganegaraan didasarkan pula atas identitas agama dari penduduknya, dan supremasi agama penguasa dijadikan landasan penilaian. Penduduk yang memeluk agama berbeda dari agama negara cenderung dipersekusi atau sekurang-kurangnya diberi status sebagai warga kelas dua.

Pada masa kini, dengan dilepaskannya identitas agama, maka negara mentolerir keragaman identitas agama di antara warganya.

b) Migrasi mengikuti aspirasi dan kontak-kontak ekonomi mendorong pergerakan manusia melintasi batas-batas negara, sehingga, pada masa kini, kita mendapati potret demografis yang sangat heterogen di berbagai kawasan, termasuk tumbuhnya komunitas Muslim dalam jumlah yang signifikan di kawasan-kawasan yang pada masa lalu hanya memiliki penduduk non-Muslim saja, seperti di Eropa, Amerika, dan kawasan-kawasan lainnya.

3) Perubahan dalam standar norma-norma (‘urf)

Praktek-praktek mengabaikan sebagian hak-hak kemanusiaan yang pada masa lalu ditolerir, seperti perbudakan, penjajahan antar bangsa, persekusi dan diskriminasi atas minoritas, kini secara umum dipandang sebagai kejahatan menurut standar norma-norma keadaban.

4) Globalisasi

Globalisasi yang didorong oleh interaksi-interaksi ekonomi dan perkembangan teknologi telah menjadikan batas-batas fisik, yaitu batas-batas geografis, maupun batas-batas politik antar-bangsa semakin kurang relevan dalam dinamika sosial.

Perkembangan teknologi juga telah secara dramatis menjembatani jarak fisik, sehingga setiap peristiwa yang terjadi di manapun berpotensi memicu rangkaian konsekuensi-konsekuensi global.

Baca Juga Masih Di Sini

K.H. Achmad Shiddiq, Rais ‘Aam terpilih pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 di Situbondo, 1984, membuat karya bersejarah dengan meletakkan kerangka keagamaan yang otoritatif bagi kesejajaran nilai antara ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwwah wathoniyyah (persaudaraan sesama warga Bangsa) dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama umat manusia).

Dalam Muktamar tersebut dinyatakan pula bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bentuk final upaya umat Islam Indonesia mengenai negara.

Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama memberikan legitimasi keagamaan yang otoritatif bagi keberadaan negara-bangsa modern berikut sistem hukum yang dihasilkan dalam sistem politiknya.

Pada Muktamar ke-32 di Makassar, 2010, Nahdlatul Ulama menegaskan perjuangan demi perdamaian dunia sebagai bagian dari sikap keagamaannya.

Dengan itu berarti bahwa terhadap konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk yang melibatkan kelompok-kelompok dari kalangan umat Islam, baik konflik di antara mereka sendiri maupun berhadapan dengan kelompok dari kalangan non-Muslim, kewajiban agama menuntut diperjuangkannya resolusi konflik dan perdamaian, alih-alih melibatkan diri dalam konflik atas nama membela kelompok yang dianggap sepihak.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button