Kasih Sayang Gus Dur
GUSYAHYA.ID – Pemilu 1999. PKB Jawa Tengah memperoleh 13 kursi di DPR RI. Urutan ke-13 diantara caleg yang medapatkan suara terbanyak adalah Pak Alwi Shihab, dari Dapil Wonosobo.
Aku sendiri, terdaftar di dapil Kudus, ada di urutan ke-14. Cuma nggawing, tidak katut ke Senayan. Tapi Pak Alwi kemudian diangkat menjadi Menteri Luar Negeri, kursi DPR RI ditinggalkannya.
Berdasarkan urut kacang, harusnya aku yang nangkring di kursi bekas Pak Alwi itu. Tapi DPP PKB menunjuk orang lain. Konon, itu kehendak Gus Dur. Aku mandah saja. Ketika lantas dijadikan Jubir Kepresidenan, aku mengira itulah alasannya.
Tahun 2001 Presiden Gus Dur lengser. Otomatis Jubir lengser juga, jadi pengangguran. Harapan terbit ketika Pak Matori Abdul Djalil diangkat jadi Menteri Pertahanan. Ada kursi nganggur lagi,
Pada harinya rapat DPP PKB untuk menentukan pengganti antar waktu, aku datang paling awal. Dadaku mengembung, karena harapan besar jadi DPR. Ayahku, Wakil Ketua Dewan Syuro, datang agak belakangan.
Setelah personil lengkap, rapat siap dimulai. Tapi Gus Dur, Ketua Dewan Syuro, tidak kunjung keluar dari ruangannya untuk bergabung di ruang rapat. Beliau malah memanggil ayahku untuk bicara empat mata. Aku tenang saja menunggu. Hatiku terlanjur terlalu besar untuk mengkhawatirkan apa pun.
Baca Juga Ide Gus Yahya Terbaru
Keluar dari ruangan Gus Dur, ayahku langsung menghampiriku.
“Memangnya kamu mau diajak apa sama Gus Dur?” beliau mananyaiku. Aku bengong,
“Mboten ngertos, Bah”, jawabku, “saya nggak didhawuhi apa-apa”.
“Tadi itu Gus Dur bilang, dia tidak akan ikut rapat dan tidak mengusulkan siapa-siapa”, ayahku bercerita, “‘Silahkan teman-teman memutuskan sendiri’, katanya, tapi…”, ayahku membuat jeda yang menegangkan, “…asalkan bukan Yahya!”
“Lho?”
“Lha ya itu. Katanya dia punya rencana lain buat kamu”.
Aku garuk-garuk kepala. Nggak tahu harus ngomong apa. Lalu cabut pulang. Nggak mau tahu urusan rapat. Dan DPP menunjuk orang lain sebagai PAW.
Sejak itu aku mangkel sama Gus Dur. Aku ini salah seorang pendiri Partai. Masak nggak boleh jadi DPR? Sedangkan semua teman-temanku boleh. Mangkelku makin menjadi-jadi ketika di Pemilu 2004 Gus Dur menempatkanku sebagai caleg di Kalimantan Timur, daerah yang sudah karuan pemilih PKB-nya cuma segelintir.
Cukup lama mangkel itu nggak hilang-hilang. Sampai aku pulang kampung, ngendon di rumah, dan hanya mengawasi Jakarta dari kejauhan. Di situ aku punya waktu untuk merenung-renung dan membolak-balik hati, dalam keadaan tidak lagi terlalu berkepentingan terhadap kompetisi di dalam Partai.
Baca Juga NU dan Faksionalisme Politik
Maka kusaksikan nasib sejumlah anggota DPR yuang berguguran di tangan polisi dan jaksa dan KPK. Seolah-olah aku baru teringat tentang siapa Gus Dur yang kukenal, bagaimana wataknya, maqomnya, dan misterinya. Gus Dur itu punya kemampuan untuk menilai orang secara tajam dan titis. Ketetapan Gus Dur untuk mencegahku jadi DPR itu pastilah didasarkan penilaian beliau yang jitu tentang diriku.
Aku jadi bersyukur dan terharu. Gus Dur itu biasanya selalu membiarkan siapa saja bergulat dan bertarung memperjuangkan keinginan masing-masing. Beliau bahkan tidak berkeberatan untuk disaingi dan diajak bertarung. Dan beliau akan melayani dengan sportif, siapa pun lawan tandingnya, walaupun anak buahnya sendiri. Tapi terhadapku beliau sejak dini mencegahku mengejar keinginanku untuk menjadi anggota DPR.
Aku jadi merasa, kasih-sayang Gus Dur kepadaku lebih besar daripada kepada lainnya. Beliau mencegahku dari kemungkinan nasib buruk. Aku yakin, ketika mempertimbangkan diriku, Gus Dur yang sangat titis menilai orang itu tentu berpikir,
“Muka kayak gini ini jangan-jangan nggak kuat ngampet korupsi…”