Humor

Dalil

GUSYAHYA.ID – Dengan reputasiku sebagai gus, aku pun lantas memasang gaya ahli agama gudang dalil yang kelasnya jauh di atas semua orang.

Ayahku perokok. Dan yang paling banyak dibawa orang sebagai bingkisan kalau datang menemui ayahku adalah rokok. Rokoknya rokok berat. Aku sendiri dulunya merokok rokok yang ringan-ringan saja.

Tapi saat ayahku wafat, kutemukan dua kaleng biskuit penuh rokok yang belum sempat disulut. Maka mulailah aku menyulutinya satu-satu, sehingga kini aku jadi terbiasa merokok rokok berat juga.

Di hari-hari sakitnya, dokter meminta ayahku berhenti merokok. Tapi ayahku membantah,

“Segala yang masuk ke mulutku sudah nggak ada yang terasa enak. Yang masih enak tinggal rokok. Masak kau suruh berhenti?”

Dokter tidak memaksa.

Mungkin anda juga suka

Waktu Hardi Cahyanta belum jadi dokter dulu, hampir tiap hari aku meriung-riung bersamanya dan sejumlah teman lain laksana geng. Termasuk di dalamnya adalah Besar, orang absurd yang sangat yakin bahwa dirinya adalah seniman, Pakde Isnan, laki-laki khusyuk yang belum yakin dirinya ahli surga, dan Arif Afandi. Yang kusebut belakangan itu paling tua. Amat tua menurut ukuran anak-anak muda waktu itu, dan senantiasa menyembunyikan kepedihan hatinya akibat kejombloan.

Karena aku tak henti-hentinya merokok saat mengobrol, Hardi yang walupun belum dokter tapi sudah ingin bertindak-tanduk seperti dokter, memprotesku.

“Kau ini kenapa sih merokok segala? Memangnya baik apa?”

Dengan reputasiku sebagai gus, aku pun lantas memasang gaya ahli agama gudang dalil yang kelasnya jauh di atas semua orang.

“Wa man yusyaabih abaahu famaa dholam. Barang siapa menyamai bapaknya, dia tidak lalim”, kataku.

Hardi malah tambah kencang protesnya,

“Mana ada hadits macam itu? Ngarang kamu!”

Mungkin anda juga suka

Aku tidak bergeming dari lagak kalem yang amat bergaya,

“Yang bilang itu hadits ya siaapa…?”

Kalimat Arab itu memang cuma potongan syair dari suatu uraian dalam kitab nahwu. Mahallusy syahid (contoh kasus) untuk satu kaidah gramatika dalam bait kitab Alfiyah ibn Malik.

Hardi dan yang lain-lain terpaksa menyerah mati-kutu. Lalu pembicaraan berpindah topik ke keadaan diri Arif Afandi yang walaupun berusaha keras tetap tak mampu secara sempurna menyembunyikan aura merana yang terpancar samar-samar.

“Kawinlah, Rif”, kataku, menasihatinya, “Kau ini sudah tua. Tunggu apa lagi?”

“Benar, Rif!” Besar si seniman menimpali, “Fil kasroh wa harikatun. Jaaangan menyia-nyiakan umur!”

Majlis kontan meledak dalam protes,

“Bahasa Arab apa itu? Masak terjemahannya gitu?!!”

Besar menghisap rokoknya dalam-dalam dan secara cermat menata tampilan agar kalemnya lebih bergaya dari kalemku,

“Yang bilang itu terjemahannya siapa…?” (*)

Related Articles

One Comment

  1. Pingback: Jomblo Berbakti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button