Lahir 16 Februari 1966 di Rembang, Jawa Tengah, KH Yahya Cholil Staquf adalah salah satu pendiri gerakan global “Humanitarian Islam” (Islam Untuk Kemanusiaan), sebuah gerakan yang berjuang untuk merekontekstualisasi pemahaman keagamaan dalam Islam yang dapat melanggengkan kebencian, kekerasan dan sikap “mau menang sendiri” dalam beragama.
Gerakan ini ingin mengembalikan prinsip Rahmah (cinta dan kasih sayang universal) ke posisisnya sebagai pesan utama dari ajaran Islam.
Gus Yahya, yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), organisasi Muslim terbesar di dunia dengan lebih dari 50 juta anggota dan memiliki sekitar 14,000 madrasah.
Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang memelopori upaya membawa kearifan dan spiritualitas Islam Nusantara ke panggung dunia, di mana pemahaman Islam yang galak, represif dan tak jarang penuh kekerasan telah mendominasi selama beberapa dekade.
Gus Yahya lahir dari garis keluaga besar Kyai Bisri Mustofa di Rembang, Jawa Tengah. Sejak kecil Gus Yahya telah menerima pendidikan formal dan spiritual Islam dari ayahnya, kakeknya dan pamannya.
Gus Yahya kemudian menjadi murid atau santri dari ulama terkenal yang pernah menjadi Rais ‘Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kyai Haji Ali Maksum (1915-1989), dan di bawah bimbingan beliau ini Gus Yahya belajar ilmu-ilmu Islam di Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak Yogyakarta.
KH Ali Maksum sendiri adalah murid dari Syekh Umar Hamdan al-Makki (1858-1948) dan Syekh Hasan Masshat al-Makki (1900-1979) di Mekkah, dan juga menjadi guru dari beberapa tokoh modern Indonesia yang amat berpengaruh, termasuk Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) Presiden Indonesia yang pertama dipilih secara demokratis, dan juga KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus (1944-sekarang), seorang ulama, budayawan, pelukis dan salah satu pemimpin karismatik NU, yang juga paman dari Gus Yahya Cholil Staquf.
Pada 2014 Gus Yahya ikut mendirikan “Bayt ar-Rahmah li Da’wa al-Islamiyah Rahmatan lil ‘Alamin” (Rumah Rahmah untuk Dakwah Islam sebagai Rahmat Bagi Alam Semesta) di Amerika Serikat. Organisasi ini berperan sebagai pusat jaringan penghubung untuk ekspansi kegiatan NU di panggung dunia.
Sebagai Direktur Urusan-urusan Keagamaan (Modir), Gus Yahya berusaha mewujudkan visi Presiden Abdurrahman Wahid untuk mendukung upaya mengerahkan energi di Dunia Barat untuk menyelaraskan pemahaman tentang ajaran Islam dengan prinsip kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia di dunia modern.
Berdasarkan visi Presiden Wahid dan komitmen kuat pada kebenaran, Gus Yahya menggerakkan otoritas Lembaga Muslim Sunni yang besar untuk bekerja sama dalam proyek rekontekstualisasi teologis yang luas dan jelas untuk pertama kalinya sejak abad pertengahan.
Serangkaian deklarasi bersejarah yang telah disusun oleh Gus Yahya menjadi basis bagi upaya pembaharuan ini, seperti ISOMIL Nahdlatul Ulama Declaration (2016); First Global Unity Forum Declaration (2016); Deklarasi Gerakan Pemuda Ansor tentang Humanitarian Islam (2017); dan yang terbaru, Nusantara Statement dan Manifesto Nusantara (2018). Melalui Resolusi dan Keputusan Bersama, Bayt ar-Rahmah dan Gerakan Pemuda Ansor, yang beranggotakan lebih dari 5 juta orang, secara resmi mengadopsi Manifesto Nusantara.
Manifesto ini didasarkan pada tradisi pembaruan (tajdid) yang sejak lama telah dipraktikkan oleh para ulama Indonesia sebagaimana dicontohkan oleh Presiden Wahid. Esainya yang penting, “Tuhan Tidak Perlu Dibela,” dimasukkan dalam Bagian 11.3 dari Manifesto tersebut. Upaya keras Gus Yahya dalam memperjuangkan rahmah sebagai basis untuk resolusi konflik dipuji oleh para pakar internasional dan dikutip oleh sponsor kampanye internasional yang memperjuangkan NU dan Muhammadiyah agar memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian.
Buku berjudul “Dua Menyemai Damai”—yang diterbitkan pada Januari 2019 oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, Universitas Gadjah Mada—mendeskripsikan kampanye Islam Nusantara; Deklarasi ISOMIL Nahdlatul Ulama; Deklarasi Gerakan Pemuda Ansor tentang Humanitarian Islam; Manifesto Nusantara; dan perjalanan bersejarah Kyai Yahya ke Yerusalem, yang berhasil “Merintis jalur baru menuju perdamaian [antara Israel dan Palestina] melalui misi yang diinisiasi oleh Gus Dur dan dilanjutkan oleh Gus Yahya.”
Gus Yahya adalah mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang kedudukannya secara protokoler setara dengan Menteri. Ia sering dimintai pertimbangan untuk persoalan-persoalan keagamaan, persoalan dalam negeri dan hubungan internasional.
Saat ini ia menjabat sebagai Duta Ansor untuk Dunia Islam dan Utusan Partai Kebangkitan Bangsa (yang berakar pada sayap spiritual NU) untuk Centrist Democrate International (IDC-CDI) dan European People’s Party (EPP)—jaringan politik terbesar di Eropa dan dunia. Beliau berusaha membangun konsensus masyarakat “Untuk mencegah usaha memperalat agama Islam demi kepentingan politik, entah itu oleh Muslim atau non-Muslim dan mencegah penyebaran kebencian komunal dengan mendorong terbentuknya tatanan dunia yang harmonis dan adil berdasarkan penghormatan atas kesetaraan hak asasi dan martabat manusia.”—Nusantara Statement.